Selasa, 21 September 2021

PENGEMBARAAN SANGGARA DAN SANGGIRI

PENGEMBARAAN SANGGARA DAN SANGGIRI
(Dua Pangeran Giri Menangkal Pandemi)
 
***
Oleh : Ki Damar Giri

1. Negeri Girimaya
 
Konon, di jagat imajinasi dikisahkan ada sebuah negeri yang indah, tanahnya subur dan rakyatnya makmur. Negeri itu bernama Girimaya, terkenal sebagai Kerajaan yang aman dan sejahtera. Istana kerajaan terketak di suatu lembah yang dibelah oleh aliran sungai berair jernih. Air Sungai itu berhulu di sebuah kubangan sebagai Mata Air di Gunung berhutan lebat. Mata Air yang keluar dari celah-celah batu dan akar-akar pepohonan besar nan rindang. Kemudian, air sungai mengalir menyusuri pemukiman sampai ahirnya bermuara disebuah Bengawan yang menjadi batas Negeri itu. 

Di lahan Permukiman sepanjang aliran sungai, banyak didapati kolam-kolam dengan air tak pernah surut menggelontor, dari kolam yang letaknya lebih tinggi ke kolam lain ditempat lebih rendah. Di setiap kolam banyak ditanami berbagai jenis ikan: Ikan Mas, Ikan Gurame, Ikan Tawes, Ikan Nilam, Ikan Tambak, dan ikan Mujaer yaitu ikan yang paling mudah berkembang biak. Merapat ke sebuah bukit terdapat tegalan yang ditumbuhi rerumputan menghijau. Di tegalan itu banyak ditemukan peliharaan hewan: Sapi, Kerbau, Domba dan Kelinci disamping ternak bebek dan ayam yang jumlahnya banyak, sehingga hasil telor bebek dan ayam berlimpah ruah. Melihat keadaan perikanan dan perternakan seperti itu, besar kemungkinan rakyat negeri Girimaya tidak akan kekurangan konsumsi daging dan telur. 

Disepanjang bantaran Bengawan menghampar pesawahan yang luas menghijau sepanjang mata memandang. Menjanjikan harapan para petani untuk memanen padi melimpah. Apabila menjelang musim panen, terlihat hamparan sawah menguning, dari buliran padi yang melambai ditiup desiran angin, terlihat bagai gelombang ombak lautan emas.

Istana Girimaya dikelilingi benteng yang luas, mungkin seluas dusun yang kita kenal. Didalam benteng itu dibuatkan Taman yang sangat Asri.
Aneka pohon tumbuh subur di setiap sudut Taman. Disilengi bunga-bunga beraneka warna, membuat harum semerbak menyebar keseluruh celah Istana. Disudut Barat Taman tumbuh pohon Manggis yang rindang berbuah lebat. Dibawah pohon Manggis itu dibuatkan kursi duduk dan meja, tempat Sang Raja menikmati keindahan dan minum secangkir kopi setiap pagi.

Negeri Girimaya dipimpin oleh seorang Raja Yang Adil Bijaksana, Berwibawa dan sangat Sakti. Beliau bernama Prabu Girilaksana. Dibawah kekuasaan Raja Sakti, menjadikan Girimaya sebagai Kerajaan yang kuat dan tangguh. Pertahanan Militer Girimaya didukung bala tentara berjumlah besar, sekitar sepuluh ribu personil, diantaranya seribu pasukan berkuda, empat ribu pasukan pemanah, dan sisanya pasukan telik sandi serta pasukan cadangan. Sehingga negeri lain enggan untuk mengganggu keamanan, lebih-lebih menaklukan Negeri ini.

Pada suatu pagi, Sang Prabu Girilaksana mengisi harinya dengan menikmati langit pagi yang mulai memerah oleh sinar matahari terbit, memancarkan cahaya, menyelusup di antara pepohonan rindang dari punggung Gunung yang menjulang di sebalah Timur Istana. Gunung itu terkenal denga nama Gunung Laksana. 

Pagi itu Sang Raja tengah menghirup air kopi hangat dari biji kopi khas yang banyak tumbuh di Gunung Laksana. Air kopi tersebut sengaja tersaji di sebuah meja taman, dibawah rimbunnya pohon Manggis yang tumbuh disudut Taman sebelah Barat, sehingga ketika Sang Raja duduk santai dikursi taman, sekaligus dapat berjemur diri dibawah pancaran Matahari Pagi. 

Disisi kiri Pohon Manggis, dibuatkan Sangkar burung sangat besar dan tinggi. Saking besarnya bisa mengurung banyak tanaman perdu dan tegakan ranting-ranting didalamnya. Di dalam Sangkar itu hidup beraneka burung peliharaan yang berloncatan dari ranting ke ranting, sambil bernyanyi riang. Sang Prabu meresapi suara kicauan beraneka burung peliharanya. Burung-burung itu tampak seperti berusaha menghibur tuannya yang sangat menyayangi mereka. Kicauan burung peliharaan itu, berpadu dengan suara cicitan burung liar yang banyak hidup di dalam taman ; seperti Pipit, Gelatik, dan Kutilang membentuk alunan orkesta alami yang indah. Di iringi dengkuran perkutut saling bersahutan, yang bertengger diatas dahan akasia yang tumbuh di sebelah Selatan Taman.

Setelah puas mendengarkan kicauan burung sebagai orkestra alam pengantar kebugaran, Sang Prabu pergi berjalan-jalan ke taman bunga. Ia memandangi bunga Angrek yang masih digelacuti butiran embun, berkerlipan bagai intan ikut melengkapi keindahan. Sementara itu, kumbang dan kupu-kupu bertebaran mengelilingi taman menemani Sang Prabu yang berbahagia. Demikianlah rutinitas yang dilakukan Prabu Girilaksana setiap pagi sebelum menjalankan aktivitas sebagai seorang raja.  

2. Mimpi Buruk Sang Raja

Prabu Girilaksana memiliki seorang Permaisuri rupawan bernama Dewi Ratna Kirana dan dua orang putra. Putra sulung bernama Sanggara dan adiknya bernama Sanggiri. Kedua orang kakak-beradik itu memiliki wajah sama-sama  tampan dan kanuragan sama-sama sakti. Mareka mahir berkuda dan memainkan pedang serta memanah. Tapi tetap rendah hati, bertutur kata santun dan lemah lembut. Mereka bagai Dua Satria Paripurna kebanggaan seluruh rakyat Negeri Girimaya.

Prabu Girilaksana sangat menyayangi kedua anaknya itu. Begitu pula sebaliknya, kedua anak itu berbakti kepada orang tua dan sangat menyayanginya, sedemikian rupa mereka berprilaku untuk tidak menimbulkan kekecewaan hati ayahanda. Malah Sanggara dan Sanggiri berani berkorban apapun demi keselamatan ayahandanya, sekalipun harus bertaruh nyawa.

Pada suatu pagi, Sang Raja tidak berlaku sebagaimana biasa. Beliau tidak kedapatan di Taman serta tidak kelihatan menikmati hangatnya air kopi. 

Pagi itu, beliau tidak beranjak dari tempat tidur, apalagi untuk berjalan-jalan di Taman. Beliau mengurung diri di kamar, namun pandangan matanya menerawang jauh keatas awan lewat jendela terbuka. Sepertinya hati Sang Raja sedang gundah. Kelihatannya ada sesuatu beban berat mengimpit pikiran beliau.

Sang Istri,  begitu mengetahui suaminya mengurung diri di kamar, Ia menjadi cemas suaminya jatuh sakit. Ia pun bergegas menghampiri suami di kamarnya. 

“Kakanda, kenapa pagi ini Kakanda hanya mengurung diri di kamar? Bukankah biasanya tiap pagi pergi berjalan-jalan mengitari taman bunga atau duduk-duduk minum kopi sambil menikmati kicauan burung? Mengapa pagi ini Kakanda hanya berdiam diri"? sapa permaisuri penuh kasih-sayang walaupun diliputi kecemasan.

Prabu Girilaksana hanya diam mendengar sapaan sang istri tercinta. Dewi Ratna Kirana makin gelisah melihat keadaan suaminya seperti itu. Kemudian, sang permaisuri bertanya kembali. “Apakah Kakanda sakit?”. Sang Raja menggelengkan kepala dan hanya menjawab dengan sebuah tatapan kosong seperti tenggelam dalam lamunan.

“Lalu, mengapa Kakanda berdiam diri seperti ini?” tanya permaisuri. “Apakah yang Kakanda pikirkan?” permaisuri mulai resah.

Seperti berat mengeluarkan kata-kata, ahirnya Sang Raja berujar pada istrinya: “Semalam aku bermimpi buruk." Sang Raja, berkata sambil berjalan bolak balik dari ujung dinding kamar ke dinding lainnya

“Mimpi apa gerangan itu, Kakanda" ? tanya istrinya.

“Aku bermimpi didatangi seorang kakek tua, berambut putih dan berjenggot, sepertinya mirip Rama Prabu Murdagiri. Beliau mengatakan bahwa rakyatku akan mengalami wabah penyakit ganas, sehingga akan banyak yang meninggal dunia,” katanya. 

Dibarengi perasaan sedih, Sang Raja melanjutkan cerita mimpinya kepada Sang Permaisuri:  “Dalam mimpi itu, aku diperintahkan untuk mencari sebuah Pundi yang berisi ramuan dari sari seribu jenis bunga langka. Ramuan itu nantinya akan dapat menyembuhkan wabah penyakit yang melanda rakyatku.” Sang Raja kemudian tertegun sambil memikirkan mimpi semalam. 

"Ah, itu kan hanya mimpi. Jangan terlalu kau risaukan, Kakandaku,” rayu sang permaisuri untuk menenangkan hati sang suami.

“Ya, tapi mimpi itu selalu mengganggu pikiranku. Aku takut mimpi itu menjadi kenyataan. Terbayang Rakyatku mati bergelimpangan sehingga wajib bagiku untuk menemukan Pundi itu. Tapi.. pundi dalam mimpi itu,"  jawab Prabu Girilaksana sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu.

"Mangapa Pundi itu, Kanda" ? tanya Sang Permaisuri.

"Sepertinya aku mengenal pundi dalam mimpiku itu", jawab Sang Raja.

" Di Galeri apa di museum, kanda"? tanya Permaisuri.

"Bukan, aku jadi teringat masa kecilku pernah bertarung habis-habisan dengan Giripertiwi adikku, memperebutkan sebuah pundi. Pundi itu percis seperti yang kulihat dalam mimpiku", jawab Sang Prabu.

Semenjak kejadian mimpi itu, kehidupan sang raja selalu risau dan resah. Yang dipikirkannya setiap hari hanyalah mimpi, sehingga Sang Prabu menjadi sulit makan dan susah tidur. Keadaan ini membuat daya tahan tubuh Sang Raja merosot tajam.
 
Pada suatu hari, Sang Prabu mendengar berita, ada beberapa penduduk yang tiba-tiba sakit dan meninggal dunia. Banyak Rakyat mengalami gejala deman disertai suhu tinggi di sore hari, batuk-batuk dan sesak napas di malam hari, namun pagi harinya sudah lemah, lantas sekarat dan terus mati. Berita itu sangat mengejutkan. Prabu Girilaksana teringat akan mimpinya itu. Beliau makin resah. Jantungnya berdetak sangat cepat disertai napas tersengal-sengal dan akhinya beliaupun jatuh pingsan. 

“Kakanda, Kakanda!” seru permaisuri, berusaha menyadarkan suaminya. Namun. Sang Prabu tetap tak bergerak sedikit pun. Akhirnya, permaisuri sadar bahwa suaminya telah pingsan. Ia pun menangis meraung-raung.

Mendengar permaisuri menangis, dayang-dayang istana berhamburan menuju kamar Sang Raja. Di situ mereka melihat Raja yang mereka cintai jatuh pingsan. Mereka segera memercikkan air mawar ke wajah Prabu Girilaksana. Akan tetapi, beliau tidak juga siuman. Permaisuri makin panik dan tangisnya makin menjadi-jadi, jeritannya memilukan hati. 

Tidak lama kemudian, para pengagung kerajaan datang untuk melihat kondisi Sang Raja.
“Baginda mimpi aneh,” permaisuri membuka pembicaraan. “Baginda bermimpi rakyatnya akan terkena penyakit yang mematikan dan barusan baginda mendengar berita bahwa penduduk sudah ada yang mati mendadak terkena penyakit. Baginda shock dan langsung pingsan.”

Berita tentang wabah penyakit yang menyebabkan beberapa penduduk mati mendadak, ahirnya menjadi viral. Malah ada yang menyebarkan hoaks bahwa Sang Raja sendiri yang pertama menularkan penyakit. Keadaan negeri yang semula damai menjadi kacau membuat kecemasan para pejabat kerajaan lainnya.  Kemudian Sang Patih mengadakan Sidang lengkap dan akhirnya memutuskan untuk mengerahkan segala daya dan cara untuk memulihkan kesehatan Prabu Girilaksana dan mencegah virus makin menyebar.
“Kita panggil segera tabib-tabib terbaik yang ada di kerajaan ini untuk menyembuhkan Sang Raja", kata seorang Mentri Kesehatan.

"Kami juga akan mengerahkan pasukan ke seluruh pelosok negeri untuk mencari Pundi yang dimaksud dalam mimpi baginda raja", ujar Panglima Perang.

" Aku perintahkan kepada para adipati dan penguasa wilayah bawahan, untuk mengunci kegiatan masyarakat agar tidak berkeliaran. Semua harus tinggal di rumah", sabda Sang Patih.

"Sampun baginda Patih, kalau kegiatan masyarakat dikunci, berarti mereka tidak bisa mencari nafkah. Harus bagaimana mereka makan?, usul salah seorang Adipati.

"Gampang!, Seluruh Isi Lumbung kepunyaan para akuwu, adipati dan para pengagung kerajaan dibagikan untuk makan rakyat. Sekarang waktunya kita memperhatikan nasib mereka, setelah sekian lama kita minta bagian hasil panen untuk makan kita dan keluarga", jawab Sang Patih bernada tinggi.

Kemudian, disebarlah bala tentara keseluruh pelosok kerajaan untuk menemukan pundi yang dimaksud dalam mimpi Sang Raja. Sementara itu, tabib-tabib terbaik kerajaan didatangkan untuk menyembuhkan Prabu Girilaksana, namun, beberapa tabib menyatakan tidak sangggup menyembuhkan wabah tanpa obat ramuan bertuah yang muncul dalam mimpi Sang Raja.

Prabu Girilaksana baru sadarkan diri setelah pingsan tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula Sang Raja tidak makan dan minum, kecuali Sang Permaisuri terus-terusan mencelupkan kapas ke dalam air kelapa muda, dan dengan telaten membasahi bibir serta ujung lidah Sang Raja. 

Setelah sadar dari pingsannya, Prabu Girilaksana, sering tampak murung. Gairah hidupnya tampak surut. Keadaan tersebut, berakibat pada Permaisuri dan kedua anaknya juga ikut bersedih dan berduka.
 
Selepas dari sakit, Prabu Girilaksana mengundang para menteri untuk mengadakan pertemuan. Meskipun hati Sang Raja masih diselimuti kegundahan dan keadaan badannya masih lemah, tapi untuk menghadiri acara resmi kenegaraan, sedemikian rupa dibuat tampil agar kelihatan tegar. 

Para mentri dan pengagung serta kedua anaknya berikut sang permaisuri menghadiri pertemuan tersebut.  

Sang raja menceritakan apa yang telah beliau alami. “Kalian tentu sudah mendengar tentang keadaanku beberapa waktu yang lalu. Aku mengalami mimpi buruk, dimana sebagian besar rakyatku meninggal dunia karena suatu penyakit. Di dalam mimpiku itu pula, diberikan petanda agar aku mencari Pundi yang berisi ramuan ajaib untuk menghalau terjadinya wabah penyakit yang lebih luas lagi. Aku juga mendengar bahwa beberapa penduduk banyak yang meninggal dunia saat ini,” demikian Sang Raja bercerita dalam keadaan yang masih lemas. 

Beliau kemudian  bertanya kepada Mahapatihnya mengenai perkembangan selama dirinya sakit.

“Bagaimana keadaan negeriku saat ini, Paman Patih?” tanya Sang Raja.

“Ampun, Baginda,” kata Sang Patih.  “Hamba telah melakukan penyelidikan tentang beberapa penduduk yang mati mendadak. Namun, sampai saat ini baru diketahui bahwa penyakit itu datang dari negeri seberang lautan dan belum ditemukan obat penyembuhnya. Kalau saja baginda memimpikan suatu ramuan, maka hal itu merupakan satu-satu obat yang harus kami temukan. Selama ini kami telah mengerahkan seluruh pasukan untuk mencari kesetiap pelosok, tapi belum membawa hasil".

Mendengar cerita tersebut Prabu Girilaksana semakin bersedih. Kemudian beliau bersabda:
“Baiklah kalau begitu, aku yang akan mencari sendiri pundi ajaib itu!”. “Benda itu harus ditemukan agar rakyatku kembali sehat dan terhindar dari marabahaya,”tegasnya.

Mendengar keinginan Baginda untuk mencari sendiri pundi ajaib itu, seluruh peserta rapat di ruang pertemuan tersentak kaget, karena justru Sang Raja masih sakit dan masih lemah.  

“Ayahanda!, hamba tidak setuju jika ayahanda mencari  sendiri pundi tersebut, bukankah kesehatan ayahanda saat ini kurang baik?". Buat apa ayahanda mempunyai dua putra sebagai kesatria yang ditakuti lawan, tapi sekadar mencari sebuah pundi saja harus membebankan orang tua?", sahut Raden Sanggara.

"Jika Ayah berkenan, biarkan kami berdua yang akan mencari pundi tersebut,” tegas Raden Sanggiri yang merasa iba melihat kondisi sang ayah.
"Biarkanlah kami pergi Rama Prabu. Kami harus Pergi. Apapun yang terjadi kami harus mencari. Kami harus mencari pundi itu dan tidak ada orang yang bisa menghalangi kami" teriak Raden Sanggiri.

Prabu Girilaksana merasa terharu melihat keinginan yang keras dari anaknya, untuk menggantikan dirinya menemukan pundi ajaib itu. 
“Anakku berdua, aku terharu mendengar keinginan kalian untuk membantu ayah, namun itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Kalian masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk melakukan perjalanan yang jauh, setahu ayah, malah kalian belum pernah keluar dari benteng istana.”

“Tapi, Ayahanda,” kata Raden Sanggara, "Kami berdua akan mencari dan menemukan Pundi ajaib itu. Kami akan berusaha sekuat tenaga. Berilah kesempatan pada generasi muda untuk berbakti pada negara, Bagi kami akan menjadi pengalaman yang pertama, Ayahanda,” pinta Raden Sanggara.

“Apakah kalian yakin dengan keputusan kalian? Hidup dalam pengembaraan itu tidak senyaman hidup di istana, Anakku,” seru Sang Ayah. 

“Selama ini kalian tidak pernah pergi ke mana-mana. Bahkan kalian berdua tidak pernah keluar benteng istana sekalipun. Coba kalian pikirkan baik-baik!”, 

“Ya, Ayah, kami sudah memikirkan hal ini masak-masak. Sekali lagi berilah kesempatan kami sebagai generasi muda untuk membela negara. Mungkin inilah cara kami untuk mengabdi pada kerajaan ini,” jawab Raden Sanggara.

Melihat keinginan anaknya yang besar, hati sang ayah menjadi luluh juga. Maka, beliau mengizinkan kedua anaknya untuk mencari benda ajaib itu.

“Baiklah kalau begitu, ayah izinkan kalian untuk mencari benda ajaib tersebut. Jaga diri kalian baik-baik dan selalu berdoa memohon pelindungan dari Yang Maha Kuasa,” kata Prabu Girilaksana dengan mata berkaca-kaca.

Semua yang hadir dalam pertemuan tersebut menjadi terharu atas kesungguhan hati kedua anak Prabu Girilaksana. Mereka semua kagum dengan kedua anak muda yang tampan dan perkasa itu, yang bersedia membela keinginan ayahandanya.

“Mereka berdua bisa diandalkan dan tampaknya mewarisi wibawa dari ayahanda mereka,” kata salah seorang menteri. 

Suara Sang Prabu dan seluruh pendapat pangagung Kerajaan kendengarannya sayup-sayup oleh Sanggara dan Sanggiri.


3. Awal Pengembaraan Sang Pangeran

Detik-detik kepergian kedua putra Sang Prabu membuat suasana menjadi sangat haru. Ayah dan ibu mereka sebenarnya tidak rela melepaskan mereka pergi jauh untuk mencari benda ajaib tersebut. Namun, apa hendak dikata, keinginan sang anak terlalu kuat, untuk dipatahkan. Orang tua hanya bisa merestui dan mendoakan anak-anaknya agar diberikan keselamatan dan selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa serta kembali dengan selamat.

Pada hari yang ditentukan di halaman istana tampak kesibukan yang luar biasa. Dua orang putra raja yang akan pergi mengembara untuk mencari pundi ajaib itu telah dipersiapkan. 

Prabu Girilaksana bersama permaisurinya tampak mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Berjubah Sutra kuning keemasan dengan daleman putih bersetrip merah. Para petinggi istana juga telah berkumpul di halaman istana, sementara di sekitar istana rakyat rama-ramai berkumpul untuk melepas dua putra raja yang akan berangkat mengembara.

Orang-orang yang berkerumun berdecak-decak kagum menyaksikan ketampanan dua orang putra raja itu, Sanggara dan Sanggiri. Banyak orang di antara kerumunan itu yang berusaha menyaksikan ketampanan dua putra mahkota dari dekat. Dua putra raja itu hanya tersenyum-senyum dan sesekali melambaikan tangan pada kerumunan itu. 

Sanggara dan Sanggiri menggunakan kuda-kuda terbaik untuk mendampinginya selama perjalanan. Kuda yang sangat kuat, tangguh dan tidak mengenal lelah, menerobos padang ilalang dan keluar masuk hutan lebat.

Selama empat puluh hari kuda-kuda tersebut setia membawa kedua putra Raja Girimaya. Bila malam tiba, barulah berhenti mengikuti kedua pangeran beristirahat. Dua putra raja itu tidur di cabang-cabang pohon yang besar atau di atas batu-batu yang besar. Kadang-kadang pula mereka itu tidur hanya beralaskan rumput. 

Sementara itu, di istana Negeri Girimaya, Ratna Kirana, Sang Ibu kedua putra raja kerap merasa sulit tidur. Tiap malam tiba; biarpun rasa kantuk telah datang, biarpun matanya dipejamkan, tapi pikirannya menerawang jauh, menembus dinding-dinding kamar dan tembok istana. 

Ia membayangkan kedua putranya yang tengah mengembara mengalami berbagai kesulitan dan kesengsaraan. Air matanya menitik jatuh memecahkan heningnya malam. Bila telah demikian, ia sering memeluk tubuh suami yang tidur di sampingnya, melepaskan rasa duka yang datang menindih hatinya. Prabu Girilaksana dengan tak bosan-bosan terus menghibur dan membesarkan hati istrinya. Namun, rasa takut kehilangan dua putra kesayangannya itu senantiasa datang membayangi terus Sang permaisuri. 

4. Pengembaraan di Taman Giripuspa.

Pada hari keempat puluh tujuh, perjalanan Sanggara dan Sanggiri sampai di sebuah lembah Gunung Giripurwa. Lembah asri dilengkapi taman yang indah dengan beraneka warna bunga, taman itu bernama Taman Giripuspa. Kedua orang kakak beradik itu sangat terpesona dengan keindahan Taman Giripuspa yang ada di lembah Giripurwa itu, lalu mereka pun memutuskan untuk mendaki sebuah bukit yang lebih tinggi supaya bisa melepas pandangan lebih luas. Mereka berdecak kagum menyaksikan taman sangat mempesona.
Berkali-kali mereka mengusap matanya, seakan-akan tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat itu.

“Kakanda, bukankah kita tidak sedang bermimpi?" kata Sanggiri kepada kakaknya, 

“Ah, pertanyaanmu itu aneh-aneh saja!” kata Sanggara. “Ini nyata, Adikku. Ini surga dunia,” ucap lanjut Sang Kakak.

Tiba-tiba seekor burung Garuda hinggap disebuah dahan di hadapan mereka. 
“Jangan khawatir Raden, kalian tidak sedang tersesat". kata Garuda kepada kakak beradik itu.

Sanggara dan Sanggiri sangat terkejut, sama sekali tidak menduga, ada burung dapat berbicara seperti manusia. 

Belum hilang rasa heran dan kaget, tiba-tiba muncul pula seekor Menjangan berkata : “Selamat datang di Taman Giripuspa” kata Menjangan itu kepada keduanya. 

Sanggara dan Sanggiri makin bingung dan sedikit agak takut. Mereka terdiam dan hanya saling berpandangan satu sama lain. 
“Kalian ini siapa?!”, Sanggara memberanikan diri bertanya kepada Menjangan itu. “Kau manusia atau jin?” lanjutnya.

“Kalian tidak punya mata, yah. Jelas-jelas kami ini Menjangan” jawab hewan berkaki empat itu meledek.

“Kalau Menjangan, mengapa kalian bisa bicara seperti manusia?”, kata Sanggara.

“Memangnya hanya manusia saja yang dapat berbicara,” kata Menjangan kembali. “Kami juga dapat berbicara hanya kamu tidak ngerti", meledek kedua pemuda tersebut.

"Tapi.. sekarang, nyatanya kami mengerti", jawab Sanggara.

"Karena pikiran kalian sudah dipadukan dengan pikiran kami, apapun suara kami pasti kalian mengerti", sahut Menjangan sambil meloncat ke kerimbunan dan menghilang.

Tinggallah mereka berdua dicekam sepi dengan diselimuti rasa heran atas kejadian yang baru saja mereka alami. "Siapakah orang yang telah memadukan pikiran kami dengan pikiran hewan, kira-kiranya ya Kakanda?, tanya sang adik kepada kakanya.

" Yah, sudahlah adikku, yang jelas kita harus terima kenyataan bahwa kita mengerti bahasa hewan", hibur Sanggara kepada Sanggiri.

Sementara kedua Pangeran masih dalam keheranan, tiba-tiba angin kencang datang menghembus dan menghantam mereka. Tubuh Sanggara dan Sanggiri terguncang, nyaris terhempas angin. Keduanya gemetar ketakutan dan saling berpegangan kuat-kuat satu sama lain. 

Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan redanya angin kencang itu, muncullah seorang kakek-kakek dengan rambut dan janggut putih yang lebat. Sanggara dan Sanggiri terkesima kaget. Mereka memandang tajam wajah Sang Kakek. Kakek itu nampaknya ramah dan bersahabat. Sikapnya seperti menunjukkan perlindungan dari berbagai ancaman seperti Induk Ayam terhadap anak-anaknya.

“Sembah Wahai Sang Tua, Maaf kami bertanya, kira-kira dari manakah Kakek ini berasal?” tanya Sanggara dengan santun.

“Wahai, anak muda! Ini adalah tempatku, aku adalah Prabu Murdagiri, penguasa Gunung ini dan berkuasa di daerah ini. Semua makhluk di sini; manusia, hewan, dan tumbuhan tunduk kepadaku," jawab sang kakek. Dulu, aku berkuasa di Puncak Gunung itu, diatasnya ada Kerajaan bernama Giripurwa. Puncak dalam bahasa leluhurku adalah Murda dan Gunung disebut Giri, sehingga orang-orang memanggil nama rajanya dengan sebutan Murdagiri. Giripurwa sendiri artinya gunung purba atau gunung yang mengawali. Selain itu, nama Giri juga dipakai sebagai nama dinasti kami, mulai leluhur diatasnya sampai keturunan dibawahnya. Dari sinilah, dari Giripurwa inilah yang mengawali dinasti Giri. Karena seluruh keturunan dalam menelusuri puncak nasab, hanya mumpu sampai kepadaku, maka akulah yang dianggap oleh mereka sebagai murdanya keturunan Giri. 
Sekarang aku lebih senang diam di taman ini, karena ditaman ini tumbuh lebih seribu jenis bunga langka dan hanya bisa hidup di taman ini. Aku diam disini menyatu dengan seluruh unsur keindahan taman" demikian Sang Kakek bercerita panjang lebar.
“Ampun, paduka Prabu Murdagiri. Kami mohon maaf telah memasuki wilayah tuan  tanpa izin. Maafkanlah jika kedatangan kami mengganggu ketenangan Paduka,” jawab Sanggara.

“Tidak apa!. justru aku merasa senang bertemu dengan kalian berdua" sahut Prabu Murdagiri sambil menatap tajam kening kedua pangeran. 

Prabu Murdagiri merasakan ada sinar yang terpancar dari kening kedua anak muda dihadapannya. Cahaya rona wajah yang sangat beliau pahami karena merupakan tanda keturunan beliau sendiri.  Beliau jadi teringat kepada putra sulungnya, Prabu Girilaksana yang hilang sejak masih kecil. "Jangan-jangan mereka ini..", pikir Prabu Murdagiri.

"Dari manakah kalian berasal, wahai anak muda” tanya Prabu Murdagiri.

“Kami datang dari Kerajaan Girimaya,” kakak dan adik itu menjawab secara bersama-sama.

Penunggu Taman Giripuspa itu tersentak kaget mendengar nama negeri  yang disebutkan kedua anak muda itu. Menurut pemikiran Sang Kakek, besar kemungkinan pemberian nama tersebut keluar dari pemikiran seseorang masih keturunan Giri. Tapi mengapa memakai kata Maya?. Bukankah maya artinya tidak nyata atau hilang? Ataukah memang penggagasnya ingin memberi pesan bahwa di negeri itu ada seorang Giri yang hilang dan ada di sana? Mungkinkah anak sulungnya yang hilang sejak kecil sebagai penggagas nama negeri itu?", demikian berbagai dugaan yang berkecambuk dalam benak Sang Kakek. Sang kakek sudah menduga kalau dua orang pemuda ini berasal dari kalangan kerajaan. Malah beliau mampu melihat identitas kedua pemuda dari cahaya di keningnya. Sang Kakek menduga kuat mereka berdua adalah cucunya sendiri. Tinggalah kini Sang Kakek mengumpulkan bukti-bukti.

Beliaupun mempertegasnya kembali. “Aku sudah tahu kalau kalian pasti bangsawan, melihat dari paras dan pakaian kalian itu. Malah aku tahu banyak tentang kalian".

Prabu Murdagiri memberikan senyum kepada mereka. Senyuman yang terlontar dari getaran jiwanya yang ia sendiri tidak sadari. Penuh rasa kasih sayang dan perlindungan layaknya seorang kakek kepada cucunya. Senyuman itu pun berbalas senyum dari kedua pemuda. Sunggingan bibir dan gemerlap gigi dari susunan yang rapih dan putih, yang khas senyuman seseorang yang selama ini dirindukan oleh Prabu Murdagiri. Ingatan jadi tergugah kepada anak sulungnya, Girilaksana yang raib tak diketahui hutan rimbanya. Lagi-lagi Prabu Murdagiri berkeyakinan, kalau kedua pemuda yang ada dihadapannya adalah putra Girilaksana anaknya sendiri. Namun beliau belum berani menanyakan siapa gerangan ayahanda kedua pemuda yang ganteng dan gagah ini?

“Kalau boleh tahu, gerangan apa yang membuat kalian sampai di puncak gunung ini?” tanya Sang Raja Giripurwa yang bertahta di Taman Giripuspa itu. “Janganlah kalian ragu mengatakannya, mungkin saja, aku bisa membantu kalian.” tegas Prabu Murdagiri.

“Ampun, Paduka,” kata Sanggara, ”Kedatangan kami kesini mungkin merepotkan Paduka. Namun, kami berdua sungguh sangat mengharapkan bantuan Paduka. Mudah-mudahan dengan bantuan Paduka, kami dapat menemukan pundi bertuah yang kami cari selama ini.”, lanjut Sanggara berkata tidak beraturan saking cemas.

“Begini, Paduka,” sambung Sanggiiri adiknya agak tenang: “Negeri kami sedang dilanda bencana, banyak penduduk yang meninggal dunia tanpa sebab. Kemudian, ayahanda kami bermimpi bahwa untuk menghalau bencana yang terjadi di negeri kami, harus menemukan Pundi bertuah yang berisi ramuan seribu bunga. Ayahanda kami sudah menerjunkan para prajurit untuk mencari Pundi tersebut, tetapi hasilnya nihil sehingga ayah kami menjadi sakit-sakitan karena memikirkan hal itu. Untuk itulah keberadaan kami di sini. Kiranya Tuan Prabu dapat membantu kami menemukan Pundi bertuah itu,” tutur Sanggiri.

Prabu Murdagiri tersenyum tipis mendengar cerita Sanggiri. Beliau punya keyakinan bahwa Girlaksana, ingin menuntun kedua anaknya sampai di Giripurwa untuk meminta pertolongan. Beliau sadar, dulu gara-gara berebutan Pundi itulah Girilaksana bertarung habis-habisan dengan Giripertiwi adiknya, dan gara-gara Pundi itu pula, Girilaksana pergi jauh. Beliau makin yakin saat itu sedang berhadapan dengan kedua cucunya, juga beliau menyadari bahwa ramuan yang tengah mereka cari itu berada di tangannya. 

Taman Giripuspa adalah satu-satunya taman di jagat ini yang ditumbuhi beribu-ribu jenis bunga. Malah banyak bunga yang hanya bisa tumbuh di taman ini dan tidak bisa hidup di tempat lain. Prabu Murdagiri pernah menyuling sari bunga dari seribu jenis bunga. Cairan itu jumlahnya tidak begitu banyak, kemudian dimasukan pada sebuah Pundi Kecil. 
Pundi tersebut disimpan rahasia di putri bungsunya Giripertiwi. Giripertiwi sekarang bermukim di suatu Keratuan bernama Negeri Sawargi. Suatu tempat yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang. Ramuan dalam pundi tersebut diyakini sebagai obat berbagai virus dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Disamping itu, ramuan seribu bunga dianggap sumber keabadian. Terbukti Giripertiwi masih kelihatan berparas muda belia setelah meminum ramuan itu. 

Sebenarnya dulu pernah terjadi pertengkaran sengit kakak beradik untuk memperebutkan Pundi itu. Pertarungan antara dua bocah sakti. Girilaksana dan Giripertiwi bertarung habis-habisan tiada berkesudahan karena mempunyai kesaktian yang setara. Girilaksana dimarahi Sang Ayah karena dianggap tidak melindungi adiknya, kemudian Ia kabur ke suatu tempat yang tidak diketahui. Sementara itu, Giripertiwi malah menggunakan kesempatan meminum cairan dalam pundi sehingga bersisa sedikit. Sang Ayah sangat marah kepada putrinya. Kemudian menghukum Giripertiwi, dibuang kesuatu tempat yang sulit dicapai di puncak gunung paling tinggi yang di kelilingi bukit berbatu yang tajam dan curam. Putri Giripertiwi dititipkan dalam pengawasan uwaknya, Prabu Persadagiri. Beliau adalah kakak kandung Prabu Murdagiri. Prabu Persadagiri adalah Raja Kerajaan Bhumi Persada, yang membawahi Negeri Sawargi. Putri Giripertiwi sudah dianggap anak angkat oleh Raja Bhumi Persada.

Prabu Murdagiri sendiri yang mengantarkan Putri Giripertiwi ke Negeri Sawargi. Sebelum meninggalkan Negeri Sawargi, Prabu Murdagiri berpesan kepada putrinya agar sisa ramuan tidak diminum lagi, karena akan berakibat sebaliknya, proses penuaan akan terjadi dengan cepat. "Simpanlah baik-baik sisa ramuan itu, anaku. Pada saatnya nanti akan ada keturunan kita yang datang membutuhkan pertolongan oleh ramuan ini, amanat Prabu Murdagiri kepada putrinya Giripertiwi.

Sekarang Prabu Murdagiri berhadapan dengan kedua cucunya yang sangat membutuhkan ramuan itu. Bisa saja Sang Penguasa Taman Giripuspa itu menggunakan kesaktian mengambil sisa ramuan tanpa harus beranjak dari duduknya atau bisa juga beliau berangkat sendiri ke Negeri Sawargi untuk meminta Pundi pada putrinya.  Tapi sepertinya Sang Prabu mempunyai harapan lain untuk kedua cucunya. Sang Prabu menghendaki kedua cucunya mempunyai pengalaman yang luas tentang alam dan menemukan kesaktian yang mantap. Disamping itu, agar kedua cucunya mampu menelusuri silsilah leluhurnya sendiri dan mampu merekatkan kembali perpecahan antara ayahnya dan bibinya.

Prabu Murdagiri memang memiliki kesaktian luar biasa. Ia mampu menembus mata batin untuk melihat sesuatu dari jarak jauh. Beliau tahu keberadaaan Pundi itu di Putri Giripertiwi, tapi untuk memastikan apakah isi Pundi itu masih ada, terpaksa Beliau harus menggunakan kacamata batinnya.

Setelah Prabu Murdagiri mempunyai kepastian tentang isi Pundi itu, lantas berkata:
"Anak muda, Pundi yang kalian cari sebenarnya ada disuatu tempat yang sulit dijangkau, yaitu di Negeri Sawargi. Pintalah oleh kalian pada Ratu yang berkuasa di negeri itu yaitu Dewi Giripertiwi", kata Sang Prabu Murdagiri.

" Baginda Kakek, kami tidak tahu dimana letaknya Negeri Sawargi itu?", ungkap Sang Sangga.

Kemudian, Sang Prabu mengajak Sanggara dan Sanggiri mendekat ke telaga yang ada di dalam taman itu.  Pada saat ditepian telaga, Prabu Murdagiri mengajak Sanggara dan Sanggiri untuk sejenak memejamkan mata. Waktu membukakan mata kembali, kedua pamuda terkejut melihat gambaran dalam air telaga yang jernih, yaitu bayangan sebuah Pundi sedang di pegang oleh putri yang sangat cantik. Terlihat juga suatu kerajaan yang sangat indah berada di puncak bukit batu dikelilingi tebing sangat curam dan tajam. Tidak ada satupun jalan kearah sana, selain dengan pendakian tebing yang sangat melelahkan.

Sang Prabu berkata, “Inilah negeri yang harus kalian datangi untuk menemukan Pundi tersebut. Keberadaan pundi bertuah itu di puncak gunung yang paling tinggi, yang bernama negeri Sawargi.”

“Kearah mana kami harus menuju Negeri Sawargi, baginda kakek?" tanya Sang Sanggara penasaran.

“Terus saja lurus ke arah Matahari terbenam. Jauh teramat jauh Negeri Sawargi itu. Kalian harus mendaki tebing-tebing yang terjal itu. Perjalanannya harus menerobos rimba belantara dihuni banyak binatang buas, melintasi jurang yang dalam, serta mengarungi sungai yang luas dan berarus deras.

“Kami tidak takut, Kakek. Bagaimanapun keadaannya, kami harus ke c at Pundi bertuah itu untuk kesembuhan ayah hamba dan rakyat Negeri Girimaya", tegas Sanggara. 

“Baiklah kalau begitu", jawab Prabu Murdagiri sambil tersenyum bangga memperhatikan tekad kedua cucunya. "Ini kakek membekali dua buah pedang pusaka leluhur. Pedang ini bukan senjata untuk perang dan mempunyai pantangan kena darah lawan, karena tuahnya akan hilang. Jika ingin digunakan, cukup ditancapkan ke dalam bumi, maka ia akan mengeluarkan cahaya putih sangat terang, beribu kali lipat iluminasi Surya. Pedang ini bernama Netrasakti, aku berikan untuk Sanggiri, sedangkan pedang yang satu ini bernama Rungusakti, aku berikan pada Sanggara. Pedangnya bertuah mengeluarkan gemuruh suara yang memekakan pendengaran.

5.Pengembaraan di Negeri Sutawanara
 
Tanpa terasa, perjalanan waktu berlalu begitu cepat. Matahari telah tepat berada di atas kepala Sanggara dan Sanggiri. 

Mereka berdua telah jauh meninggalkan Taman Giripuspa. Suara nyaring dalam perut telah berbunyi. Itu pertanda mereka sudah lapar. Kakak dan adik itu pun langsung menyantap bekal mereka dengan lahapnya.

Sehabis makan, mereka beristirat sejenak di bebatuan, sekadar untuk menyandarkan kepala pada dinding batu sambil meluruskan kaki. Dari pandangan jarak jauh, sang kakak melihat sungai yang airnya cukup jernih. Sanggara mengajak Sanggiri, adiknya untuk mandi di sungai tersebut. Mereka berdua kemudian berendam di lubuk sungai itu. Tubuh kedua kakak-beradik itu terasa segar terkena siraman air yang dingin dan jernih. 

Setelah beberapa lama berendam, Sanggara buru-buru naik kedaratan karena tidak kuat kedinginan, sementara Sanggiri masih asyik menikmati kesegaran memainkan cipratan air.

Sanggara menghampiri kudanya. Kemudian, ia menaiki kuda tersebut, tetapi kudanya diam saja, tidak bergerak sedikit pun meski sudah didera berkali-kali. Sanggara merasa kesal, lalu kuda itu dipecut dengan sangat keras. Kuda itu pun mendadak terperanjat. Ia melompat dan kemudian berlari tak terkendali. Sanggara kesulitan mengendalikan kudanya yang menjadi liar dan beringas menerjang apa pun yang ada di hadapannya. Kuda Sanggara lari jauh tak tentu arah.

Sementara itu, Sanggiri tidak menyadari bahwa kakaknya telah pergi jauh meninggalkan dirinya. Ia berpikir bahwa kakaknya itu sedang berjalan-jalan di sekitar sungai. Dia menunggu kakaknya sambil menjemur bajunya yang basah habis dicuci. Namun, setelah lama menunggu, mulai timbul kecemasan dalam diri Sanggiri. Ia menunggu kakaknya yang tak kunjung datang. Kemudian, ia pun mulai mencari kakaknya di sekeliling wilayah itu, tapi tak ditemukan jua.   

Sanggiri mulai kesal dan marah karena kakaknya tidak juga ditemukan. Mata Sanggiri tampak memerah penuh amarah. Lalu, dia mengeluarkan senjata sakti yang diperoleh dari Prabu Murdagiri. Senjata itu mengeluarkan cahaya sehingga dapat menerangi angkasa yang saat itu mulai gelap. 

Cahaya yang dikeluarkan dari senjata Sanggiri telah menimbulkan rasa cemas pada penghuni hutan. Sang Sutara, raja kera sebagai penguasa Kerajaan Sutawanara menjadi penasaran dengan cahaya yang dulu pernah ia kenal. Dulu, jika Rajanya memanggil dia yaitu dengan cara menghunuskan pedanya dan mengeluarkan cahaya seperti ini. Sang Sutara itu pun pergi mencari tahu apa yang telah terjadi. 
Begitu mengetahui bahwa sumber cahaya berasal dari senjata yang dimiliki Sanggiri, ia pun mengganggap pemilik pedang adalah keturunan Prabu Indragiri, rajanya dulu tempat dia mengabdi. Ia jadi merasa takut. Sang Sutara langsung bersimpuh di hadapan Sanggiri. Raja Kera Sutara tetap merasa bahwa Sanggiri adalah sosok keturunan Maha Prabu Indragiri yang pernah bertahta di Kerajaan Giripurwa dan memiliki kesaktian luar biasa.

Sang Sutara berkata, “Wahai Keturunan Maha Prabu Indragiri, hamba tidak tahu kedatangan Paduka di tempat ini. Sejak lama hamba mencari pemegang pedang raja kami, tapi tidak pernah bertemu. Terahir hamba dengar pedang itu dipegang oleh Prabu Murdagiri, putranya Prabu Indragiri, raja kami, tapi beliau terus-terusan bertapa disuatu tempat yang tidak diketahui siapapun.  Saat ini, paduka memegang pedang pusaka, dan mampu menggunakannya. Menurut hamba, paduka adalah keturuan raja kami Prabu Indragiri. Oleh karenanya,  sudi kiranya paduka menerima bhakti hamba dan memimpin hamba di negeri Sutawanara. Karena sejak dahulu, hamba mengabdi pada Baginda Maha Prabu Indragiri, ayahanda Prabu Murdagiri, Apa pun yang akan Paduka perintahkan kepada hamba, akan hamba laksanakan dengan sepenuh hati. Aku Sang Sutara raja kera dari kerajaan Sutawanara, yang semula putra Maha Patih Indragiri. Aku dan prajuritku dikutuk jadi kera oleh Maha Prabu karena kesalahan yang dilakukan ayah hamba".

Sanggiri tercengang mendengar perkataan sang raja kera yang bersimpuh di hadapannya dan pandai berkata-kata layaknya manusia. 

"Wahai Sang Sutara Reja Kera, aku tidak bersedia memimpin kalian, karena aku bukan keturunan Mahaprabu Indragiri apalagi keturunan Prabu Murdagiri, sahut Sanggiri tegas.

" Oh...tidak Rajaku, hamba yakin baginda keturunan Mahaprabu Indragiri, karena pedang pusaka yang ada ditangan baginda tidak akan bertuah jika digunakan orang lain. Pedang itu baru bisa digunakan jika pemakainya  mengalir darah keturunan Giri", jawab Sang Sutara.

Sanggiri terdiam bingung serta Sang Sutara pun diam beberapa saat.
“Paduka,” kata raja kera itu melanjutkan perkataannya, “terimalah permintaan hambamu ini. Pimpinlah negeri kami. Jadilah Paduka Raja yang memerintahkan kami,” pinta raja kera memalas.

"Begini Sang Sutara, Aku mungkin tidak akan mampu menjadi Raja kalian, karena cara hidup kalian, budaya kalian dan keyakinan kalian berbeda dengan kami", Sanggiri meyakinkan.

"Tapi apa yang harus kami lakukan sebagai bakti kami kepada keturunan baginda Mahaprabu Indragiri?" desak Sang Sutara.

“Baiklah Sang Sutara, Engkau tetap menjadi Raja Sutawanara, jika Engkau mau berbakti, bantulah kami", jawab Sanggiri.

"Apa gerangan tugas kami Rajaku!" jawab Sang Sutara yang tetap menganggap dan memanggil Raja pada Sanggiri.

"Tolong carikan kakak ku Sanggara, yang mendadak hilang, dan tolong juga kami tunjukan jalan ke Negeri Sawargi", pinta Sanggiri.

"Baik jungjungan hamba, kami segera menjalankan tugas", jawab Sang Sutara seraya meloncat secepat kilat menghilang di kerimbunan.
 
Ketika Sanggiri nyaris dinobatkan sebagai raja kera, Sanggara justru terdampar di hutan-hutan belantara. Ia pun bingung tak tahu harus melangkah ke mana. Hutan belantara demikian lebatnya, sejauh matanya memandang, ia hanya menemukan hijaunya dedaunan. Memandang ke bawah pun, ia hanya menemukan daun-daun yang kering berguguran. 

Sanggara merasa sedih bukan main. Dipandangi kuda yang menyebabkan ia tersesat. Kudanya itu kini tengah merumput di pinggir hutan. Seketika amarahnya pun hilang, memang salah dirinya menghetak kuda terlalu keras hingga kaget. Timbul kembali perasaan sayang pada kudanya, mengingat telah bertahun-tahun kuda itu berjasa kepadanya. Teringat hal itu, dihampiri kudanya yang tengah merumput, lalu dibelai-belai punggungnya. Ketakutan pun kini menyelimuti dirinya. Sekarang ia harus mengembara seorang diri untuk menemukan benda ajaib itu. Ia terkenang kepada kedua orang tuanya dan adiknya, Sanggiri.

“Ah, kenapa aku harus takut sendirian?” Tiba-tiba Sanggara bicara seorang diri, bukankah Prabu Murdagiri telah membekaliku dengan kesaktian dan sebilah pedang pusaka Rungusakti"?, gumam beliau.
 
Semangat Sanggara kembali bangkit. Dihampiri kudanya, lalu ia naik ke atas punggung kuda dan memacunya kearah marahari terbenam.

Tak berapa lama kemudian, Sanggara mendengar suara gemuruh gaduh diatas pepohonan. Segerombolan kera datang melintas di hadapannya. Sanggara terkejut, Ia bertanya-tanya dalam hatinya dari manakah datangnya kera-kera ini. Tiba-tiba salah satu kera mengajak Sang Sangga berbicara.
“Hai Tuan! Siapakah gerangan?” tanya sang kera.

“Aku adalah pengembara yang sedang tersesat,” jawab Sangara.

Kera itu pun berkata kembali, “Dari mana Tuan berasal dan apa yang Tuan cari? Tidak sembarangan manusia mampu sampai ke tempat ini. Tuan pasti memiliki kesaktian,” tegasnya.

“Hamba datang dari negeri Girimaya. Tujuan hamba datang ke mari adalah mencari Pundi Bertuah,” jawabnya.

Sang Raja Kera Sutara jadi teringat kembali kepada Sanggiri yang sudah mereka anggap rajanya. Rajanya juga memerintahkan untuk mencari benda ajaib itu. Lalu, sang kera menegaskan kembali. “Apakah Pundi yang dimaksud itu adalah pundi yang berisi ramuan bertuah?” 

“Iya, betul,” jawab Sanggara. “Mengapa engkau tahu tentang benda yang aku cari itu?” penasaran.

Lalu, Sutara menceritakan tentang Sanggiri yang dianggap raja barunya yang memerintahkan mereka untuk mencari jalan menuju Negeri Sawargi dan mencari kakaknya yang hilang.

Sanggara menjadi senang mendengar berita tersebut. Ia tahu yang dimaksud sang kera adalah adiknya sendiri. “Raja kalian itu adikku,” tutur Sanggara. “Kami terpisah selama ini karena kudaku membawaku pergi jauh, sehingga aku kehilangan jejak adikku.” 
“Bawa aku ke tempat rajamu!” pinta Sanggara.

“Baik Tuanku,” hamba laksanakan. Setelah tahu bahwa yang ditemui adalah kakak dari raja mereka, para kera pun memberi hormat kepada Sanggara.
 
Sang Sutara membawa Sanggara bertemu dengan Sanggiri. Sanggiri tidak menyangka akan bertemu kakaknya kembali. Mereka berpelukan melepaskan rasa duka karena selama ini mereka terpisah. 

Lalu, beberapa kera memberi kabar tentang keberadaan benda ajaib yang mereka inginkan itu, berikut arah jalan menuju Negeri Sawargi.

“Tuanku, Baginda Raja Keturunan Indragiri, Hamba telah menyelidiki keberadaan benda ajaib itu. Arah yang paling tepat untuk sampai kepuncak bukit negeri Sawarigi dengan cara perjalanan melingkar mengikuti jalan setapak. Walaupun memakan waktu yang lama tapi jalan itu satutunya yang paling mungkin", kata Sutara.

"Apakah engkau, ikut menemani kami ke negeri sawargi Wahai Sang Sutara", tanya Sanggara.

" Mmmh.... Hamba belum bisa bertemu dengan Ratu Negeri Sawarigi", jawab Sutara agak panik.

"Mengapa, Sutara"? Tanya Sanggiri.

" Maafkan hamba, rajaku keturunan Indragiri, hamba belum bisa mengatakan apa-apa, sebelum leluhur hamba melakukannya", jawab Sutara sedih. "Yang hamba tahu, Ratu Negeri Sawargi  adalah anak angkatnya Prabu Giripersada dari Kerajaan Bumi Persada", lanjut Sang Sutara.

“Baiklah, Terima kasih Sang Sutara,” kata Sanggiri, “kamu telah memberikan keterangan yang sangat berharga. Kami akan berusaha secepatnya mencapai tempat yang kamu tunjukkan itu.”

" Baiklah, baginda Keturunan Indragiri, sekiranya baginda membutuhkan lagi hamba, tinggal memanggilnya dengan cara menghunuskan pedang pusaka keatas. Pasti hamba segera datang, tapi hati-hati jangan menancapkannya kedalam tanah", kata Sang Sutara yang seketika itu juga lenyap dari penglihatan.

6. Pengembaraan di Negeri Sawargi
 
Sanggara dan Sanggiri memacu kuda meninggalkan Kerajaan Sutawanara menuju puncak bukit Negeri Sawargi seperti yang ditunjukan raja kera Sang Sutara.

Mereka ingin segera berjumpa Putri Giripertiwi agar bisa menemukan dan membawa pundi yang mereka cari.

Setelah mengitari lereng-lereng bebatuan dan tebing-tebing yang terjal, juga melewati jalan berliku dan sempit, ahirnya sampailah mereka di tempat tujuan. 

Di tempat itu, semuanya sangat indah. Gerbang istananya berlapiskan emas dan perak serta pintunya juga berwarna kuning keemasan dengan lukisan bergambar bunga khas Taman Giripuspa milik Prabu Murdagiri. Pada saat itu Sanggara dan Sanggiri berfikir bahwa ornamen bangunan Negeri Sawargi erat kaitannya dengan Taman Giripuspa, boleh jadi penguasa negeri sawargi pun erat kaitannya dengan Sang Kakek Murdagiri, pemilik taman Giripuspa.

Namun, kemudian Sanggara dan Sanggiri tampak heran karena istana yang semegah itu terlihat sangat sepi dan tidak ada tanda-tanda kegiatan layaknya kesibukan istana, hanya ada bebera penjaga gerbang yang berdiri kaku dan membisu.

Tiba-tiba kupu-kupu bertebaran mengelilingi mereka berdua dan terdengar suara “Selamat datang!”. Sanggara dan Sanggiri tidak lagi terkejut, mendengar sapaan kupu-kupu karena telah beberapa kali menemukan hewan yang bisa bicara. Sekarang mereka terbiasa menghadapi hewan yang dapat berkata-kata itu.

“Terima kasih!” kata Sanggara pada kupu-kupu yang kemudian berlalu dari hadapannya. Tidak lama kemudian datanglah seorang putri yang sangat cantik seraya berkata: “Siapa kalian? Apa gerangan yang membuat kalian datang ke istana ini?” tanya sang putri.

“Kami ingin bertemu dengan Putri Giripertiwi"! jawab Sanggiri, sementara kakaknya Sanggara hanya bengong terpukau memandangi kecantikan Sang Putri Giripertiwi bagai Gadis baru menginjak remaja.

“Akulah Putri Giripertiwi,” kata sang putri sambil tersenyum manis kepada mereka berdua. 

“Syukurlah, akhirnya kami bertemu dengan Tuan Putri,” jawab Sanggara dengan suara sedikit bergetar, panik.

Ketika kedua pangeran tampan tengah menjelaskan maksud kedatangannya, Sang Putri tak lepas dari tatapannya kearah kening mereka berdua.Siapakah mereka ini sebenarnya? pikir Sang Putri penuh keheranan.

Sanggara menjelaskan bahwa mereka berasal dari Negeri Girimaya. Pada saat ini di negaranya diserang wabah penyakit yang sangat mengerikan. Ayahandanya bermimpi bahwa obat penyembuhnya adalah ramuan seribu bunga dalam Pundi Kecil. Mereka bertemu dengan seorang kakek pemilik Taman Giripuspa, beliau mengatakan bahwa Pundi yang mereka cari ada di tangan Ratu Negeri Sawargi. Begitu juga ketika bertemu dengan raja kera Sang Sutara, mengatakan hal yang sama.

Putri Giripertiwi terkejut mendengar penuturan mereka. Ia tahu bahwa ramuan bertuah itu ada pada dirinya. Namun, Putri Giripertiwi mencoba untuk menutupi keberadaan Pundi kecil tersebut. Ia tidak ingin pundi itu berada di tangan salah orang. Pundi yang berisi ramuan obat tersebut adalah titipan ayahnya Prabu Murdagiri. Ayahnya berpesan agar tidak menggunakan pundi tersebut apabila tidak sangat dibutuhkan.

“A..a.. aku tidak punya,” jawab tuan putri sedikit berbohong. “Mungkin bukan aku yang dimaksud Prabu Murdagiri atau sang kera itu. “Aku tidak pernah melihat benda yang kalian maksud,” lanjutnya.

Namun, Sanggara seperti tidak percaya sepenuhnya atas perkataan sang putri. Ia pun terus mendesak lagi tentang keberadaan Pundi tersebut. Namun, tetap tidak membuahkan hasil.

Di sisi lain, sang putri ingin mengetahui lebih jauh tentang karakter sebenarnya kedua pria itu, siapa tahu benar-benar membutuhkan pertolongan. Juga Sang Putri merasa penasaran tentang sinar yang memancar di kening mereka berdua. Anak siapakah mereka ini?

Oleh karena itu, Sang Putri menawarkan jasa, seolah-olah memberi bantuan untuk mencari Pundi bertuah itu, agar mereka dapat tinggal lama di istananya.

“Tuan-tuan yang bijaksana, kiranya saya dapat ikut menemukan benda yang kalian cari. Kalian dapat menginap di sini untuk mencari benda tersebut,” tutur sang putri.

“Baiklah, kami akan menginap beberapa hari di sini,” kata Sanggara, yang sejak awal menaruh hati pada Sang Putri.

Putri Giripertiwi menyediakan sebuah kamar yang tertata dengan rapi untuk kedua pemuda tampan tersebut. Tiap sudut kamar itu dihiasi bunga yang aromanya menyejukkan hati. 

Sanggara makin hari makin terpesona oleh kecantikan Putri Giripertiwi. Tatapan matanya yang lembut amat menyejukkan perasaannya. Sanggara tidak tahan lagi menyimpan perasaan cintanya kepada Sang Putri yang cantik yang dalam penglihatannya bagai gadis baru mengijak dewasa. Sebaliknya, putri Giripertiwi makin hari makin mengetahui siapa sebenarnya kedua pemuda tampan ini. Namun ia harus bersikap halus untuk menghindari Cinta Sang Sanggara, agar tidak menimbulkan kekecewaan yang dalam.

Sebenarnya, Sanggiri juga mempunyai perasaan yang sama kepada sang putri itu, namun semenjak diketahui sang kakak sangat mencintai Giripertiwi, ia pun mundur tertur. 

Sanggara dengan Putri Giripertiwi kelihatannya semakin dekat  dan akrab. Sebenarnya kedekatan mereka mempunyai dua perspektif yang berbeda. Sanggara menganggap kedekatan dengan Putri Giripertiwi bernuansa Cinta, sedangkan Sang Putri sekedar menjaga agar tidak terjadi kekecewaan yang dalam bagi Sanggara. Sebenarnya putri Giripertiwi sudah mengantongi identitas kedua pemuda tampan itu. Mereka adalah keponakannya sendiri. Walaupun Putri Giripertiwi senantiasa menunjukan perhatian khusus kepada pemuda tampan itu, tapi sebenarnya sebagai wujud kasih sayang sang ibu terhadap anaknya.

7. Penalukkan Ki Hokaparna

Ayah angkat Putri Giripertiwi, Prabu Giripersada  mengetahui kedekatan putrinya dengan Sanggara. Ada kecemasan di diri ayahnya itu. Beliau takut putrinya keterlanjuran hanyut dalam asmara terlarang dengan Sanggara, karena beliau mendapat berita dari Prabu Murdagiri, bahwa kedua kesatria yang bermukim di Keraton Sawargi sebenarnya cucu Prabu Murdagiri sendiri. Mereka adalah anak Prabu Girilaksana yang sejak lama menghilang. Prabu Giripersada pun harus berpikir keras mencari jalan terbaik memisahkan cinta mereka.

Selanjutnya Prabu Giripersada memanggil Sanggara untuk menghadap beliau ke Keraton Bhumi Persada dan Sanggara pun memenuhi panggilan Sang Raja itu.
“Sembah Hamba Paduka, semoga baginda senantiasa sehat dan panjang umur,” seru Sanggara setelah sampai di Kerajaan Bhumi Persada dan menghadap Sang Prabu.

"Apa gerangan yang membuat baginda memanggil hamba?” tanya Sanggara seterusnya.

“Aku memanggil engkau karena ada yang perlu aku tanyakan.” jawab Prabu Giripersada penuh wibawa.

“Apa itu Baginda?”, sahut Sanggara dengan tenang tapi tetap santun.

“Benarkah kau mencintai putriku?” tanya Prabu Giripersada berikutnya.

“Benar Baginda, hamba sangat mencintai Putri Giripertiwi,” dengan lantang Sanggara mengatakan itu. 

“Kau sunguh-sunguh mencintainya dan Tidak akan menyakitinya?”  periksa Prabu Giripersada.

“Iya baginda, hamba akan menyayanginya setulus hati dan tidak akan membuat hatinya bersedih.” jawaban tegas Sanggara.

“Kalau begitu, apa jaminan kesetiaanmu kepadaku,” seru Prabu Giripersada.

“Apa yang bisa hamba lakukan, Baginda?” Sanggara balik bertanya.

“Aku inginkan Kau menumpas Gerombolan Pengacau pimpinan Ki Hokaparna yang telah menghasut rakyat Negeri Sawargi, menyebarkan berita bohong, mengujar kebencian dan mengadu-domba masyarakat. Malah aku dengar Ki Hokaparna telah mencaplok sebagian wilayah negeri sawargi sebagai basis Komando. Aku dengar pula Ki Hokaparna sebagai pimpinan yang arogan, ambisius, dan serakah. Ia kerap menyerap dana masyarakat bertabirkan infa dan sodaqoh, padahal digunakan untuk pesta pora dan keuntungan pribadi. Oleh karena itulah, aku ingin memberi pelajaran terhadap pimpinan yang zalim itu.”

”Baiklah, Tuanku, akan hamba laksanakan". tukas Sanggara.

Lalu, Sanggara menceritakan hal ini kepada Sanggiri. Sanggara memohon kepada adiknya untuk membantunya melawan Ki Hokaparna, karena adiknya mempunyai pasukan kera yang banyak jumlahnya.

“Baiklah Kakanda, aku akan mengumpulkan seluruh pasukan kera untuk menyerbu Gerombolan Ki Hokaparna", sanggup Sanggiri.
 
Setelah saat itu, Sanggara dan Sanggiri mempersiapkan segala keperluan untuk menyerang Ki Hokaparna. 
 
Pasukan kera Sang Sutara telah menerobos jauh masuk ke dalam Basis Komando Ki Hokaparna. Sebagian pasukan Ki Hokaparna takluk, ketakutan melihat segerombolan kera mendadak datang menyerang mereka. Saat penyerbuan itu terjadi, pasukan Ki Hokaparna tidak mengadakan persiapan sehingga Markas Komandonya mudah sekali dikuasai lawan. 

Saat itu, Ki Hokaparna sendiri sedang pesta pora dengan pengawalan ketat oleh pasukan khusus. Sanggara dan Sanggiri bahu membahu melawan pasukan khusus Ki Hokaparna. Di pihak Ki Hokaparna, jumlah korban terus bertambah. Akhirnya, peperangan dimenangkan oleh Sanggara. Kemudian, Ki Hokaparna dan beberapa pengikutnya yang masih hidup ditahan oleh Sanggara untuk dihadapkan kepada Raja Giripersada.

Dihadapan Raja Giripersada,  Ki Hokaparna dan pasukannya bersumpah setia pada kerajaan Bhumi Persada serta berjanji tidak akan menghasut rakyat lagi. 

Sang Raja Giripersada memahami watak ambisius Ki Hokaparna yang selalu memimpikan kekuasaan raja, sehingga beliau memberikan nasihat kepada Ki Hokaparna bahwa jika ingin jadi pimpinan harus ada aturan dasar yang mengikat dirinya, sehingga dalam menjalankan kekuasaan tidak semena-mena. Ahirnya Raja Giripersada pun berbelas kasihan dengan memberikan suatu daerah di wilayah Timur Bhumi Persada menjadi kekuasaan Ki Hokaparna yang kemudian membentuk kerajaan yang terkenal dengan nama Kerajaan Sura Mandula.

8. Penemuan Pundi Bertuah

Ratu Giripertiwi beserta seluruh rakyat Negeri Sawargi larut dalam kebahagiaan karena gerombolan Ki Hokaparna dapat ditumpas. Sekarang Negeri Sawargi aman tentram, rakyatnya hidup rukun, tidak ditemukan lagi tawuran antar kelompok, tidak ada lagi saling curiga dan salah pengertian.

Dalam suasana kebahagiaan itu, tiba-tiba Prabu Giripersada didampingi Prabu Murdagiri mengumumkan adanya rencana pernikahan Putri Giripertiwi dengan Sanggara yang mampu menunaikan kesetiaan menciptakan perdamaian di Negeri Sawargi. Namun di luar dugaan Sang Putri Giripertiwi menolaknya.

"Ayahanda Prabu Giripersada, mohon ampun ananda bicara. Perkawinan adalah perjanjian pribadi antara hamba dengan Raden Sanggara dan perjanjian ini belum pernah terjadi. Selanjutnya, mohon maaf Ayahanda, menurut hemat hamba, perjanjian pekawinan tidak ada kaitannya dengan perjanjian politik.Hamba tidak pernah mengadakan perjanjian politik dengan Raden Sanggara, oleh karena itu hamba tidak terikat untuk memenuhinya", demikian argumen yang disampaikan seorang ratu negeri sawargi hingga memukau seluruh hadirin.

"Ananda Giripertiwi, Raden Sanggara dan Raden Sanggiri, bukanlah maksud Aku mengingkari perjanjian politik dengan Raden Sanggara, tapi untuk memenuhi janji tersebut melintang aral yang besar. Aral yang diciptakan alam yang tidak mungkin dihindari, aral yang meniadakan dan menggugurkan perjanjian. Apa gerangan yang menjadikan aral itu?, maka aku sebagai Raja Bhumi Persada memberikan mandat kepada Adinda Prabu Murdagiri untuk memberikan penjelasan," sambut Raja Giripersada.

Prabu Murdagiri pun angkat bicara: "Cucuku Raden Sanggara, hendaklah engkau renungi bahwa Alam akan murka seandainya ketentuannya dilanggar. Alam sendiri menentukan kehidupan manusia dilarang mengadakan perkawinan seorang ibu dengan anaknya. Jika itu dipaksakan, maka hancurlah kehidupan......uraian Prabu Murdagiri terpotong selaan Sanggara.

"Maaf Tuan-tuan serta para baginda, hamba memotong pembicaraan. Hamba mengerti dan paham terhadap semua uraian. Namun mohon dimengerti juga keadaan hamba, ibu hamba adalah Dewi Ratna Kirana dan sekarang ada di Kerajaan Girimaya. Hamba tidak bermaksud mengawini ibu hamba tapi hamba ingin mengawini Putri Giripertiwi yang baru hamba kenal, kilah Sanggara.

"Maaf Raden, bolehkah Aku bertanya"?, usul Dewi Giripertiwi.

" Oh, Silahkan Putri", jawab Raden Sanggara.

"Siapakah Gerangan Nama ayahanda Raden?", tanya Dewi Giripertiwi singkat.

"Rama Prabu adalah Girilaksana, apakah cukup jelas untuk nama calon mertuamu wahai Putri Cantik"? jawab Sanggara bernada menggoda, namun tidak menyadari bahwa sebenarnya lawan bicaranya itu jauh lebih tua.

"Satu lagi Raden, apakah raden tahu siapa nama kakek raden"?, sang putri bertanya menjebak.

Sanggara menggelengkan kepala.

" Apakah mungkin ayahanda raden tidak ber ayah", desak sang putri.

"Tidak mungkin Tuan Putri", jawab Raden Sanggara melemah.

"Raden Sanggara, dengarkanlah Aku bicara", suara Prabu Murdagiri penuh wibawa, kemudian melanjutkan pembicaraannya. " Sebenarnya Aku mempunyai dua orang anak, seorang Putra dan seorang Putri. Yang sulung anak laki-laki bernama Girilaksana sedangkan adiknya perempuan bernama Dewi Giripertiwi. Ia adalah orang yang ada dihadapan raden"

"Jadi maksud baginda, Putri Giripertiwi ini Bibinda hamba?. Tidak masuk akal baginda, lihat saja raut mukanya, seperti Gadis baru menginjak remaja. Umurnya jauh dibawah hamba. Mungkin saja Girilaksana yang dimaksud baginda adalah orang lain, bukan ayahanda hamba", Raden Sanggara kelihatan agak kecewa karena cintanya nyaris gagal.

"Raden, sebenarnya seluruh leluhur dan keturunan kami mempunyai tanda tertentu. Kami tahu raden berdua keturunan kami, karena tanda di kening raden memancarkan sinar" kata Prabu Murdagiri.

"Omong kosong, baginda. Saat ini hamba tidak melihat apa-apa di kening tuan-tuan", sahut Sanggara ngotot.

"Mungkin saat ini pandangan raden masih gelap karena ilmu nya belum sampai. Raden berdua baru dapat mendengar bahasa binatang, belum bisa melihat hal yang tersebunyi", Prabu Murdagiri menuturkan secara rinci.

Raden Sanggiri yang lebih dulu menyadari betul-betul ada kaitan keturunan, segera melompat dan bersimpuh kepada kakeknya dan bibinya, sedangkan Raden Sanggara tetap duduk merunduk murung penuh kekecewaan. Badannya menggigil menahan hasrat tak kesampaian. Ia sangat menyesal harus berjumpa dengan Sang Putri yang terlanjur ia cintai. Disertai cucuran air mata ia berkata kepada Dewi Giripertiwi:
"Tuan Putri, hamba berpikir jangan-jangan tuan putri hanya mencari-cari alasan untuk mengingkari janji yang dinyatakan rama Prabu Giripersada", seru Sanggara kecewa.

Melihat gelagat Raden Sanggara cenderung putus asa, Putri Giripertiwi segera mengampiri Raden Sanggara, memeluk erat-erat sambil membelai rambutnya penuh kasih sayang. Kasih sayang dari seorang Ibu kepada anaknya, seraya berkata lemah lembut: "Raden...., Bibi mohon raden tidak terpedaya karena melihat fisik. Penglihatan raden kepada kecantikan Bibi adalah suatu patamorgana yang menipu, sebenarnya bibi ini berumur tua dengan kulit keriput. Bibi mempunyai paras muda seperti sekarang, karena pernah meminum air ramuan seribu bunga yang sebelumnya diperebutkan dengan ayahmu. Pertarungan  bibi dengan ayahmu berlarut-larut tiada berkesudahan karena sama kuatnya dan sama saktinya. Ahirnya kakekmu melerai dan memarahi ayahmu hingga ayahmu pergi sampai saat ini tidak pulang. Keadaan seperti saat itu digunakan kesempatan oleh bibi untuk meneguk air dari pundi nyaris habis. Air bunga yang tersisa dalam pundi sekarang mungkin tinggal puluhan tetes. Jika raden menuduh bibi melakukan akal-akalan, bisa saja bibi memberikan bukti kepada raden dengan cara meminum ramuan kedua kalinya, sebab dengan minum ramuan yang kedua akan mengembalikan wajah bibi jauh lebih tua. Tapi bibi kemudian berpikir, raden bersusah payah datang ke Nageri Sawargi melewati perjalanan yang sangat jauh karena ingin mendapatkan pundi ini bukan untuk mendapatkan wanita. Jika raden bersikukuh meminta bukti kepada bibi, bibi akan meneguk sisa ramuan dari Pundi ini. Bibi pun kembali menjadi wanita tua berkulit keriput, sementara Ayahmu dan seluruh rakyat Girimaya mati tidak terobati karena ramuan nya hanya digunakan percumah untuk memenuhi nafsu raden", dengan penuh rasa sayang Dewi Giripertiwi menasehati keponakanya.

Sanggara terperanjat mendengar nasihat Putri Giripertiwi bibinya. Ia jadi teringat pada ayahanda di Negeri Girimaya sedang sakit. Segera dia bersujud dibawah kaki bibinya, seraya memohon:
"Ampuni hamba bibinda, hamba telah lancang kepada bibi. Hamba telah mengedepankan nafsu birahi dan melupakan tugas pokok menyelamatkan jiwa ayahanda dan rakyat Girimaya", lirih Sanggara penuh penyesalan.

"Sudahlah raden, kakek bangga kepada sikap kesatria raden, kakek memahami perasaan raden", sambung Prabu Murdagiri sambil saling berpandangan mata dengan Sang Kakak.

" Kamu, memang sutadara ulung adiku" sahut Prabu Giripersada kepada Prabu Murdagiri sambil melempar senyum.

"Raden, Maafkan Bibi, sebenarnya bisa saja Pundi ini diberikan kepada kalian diawal pertemuan, tapi bibi dan kakek Prabu ingin menguji dulu ketangguhan dan kesungguhan kalian dalam  memperjuangkan Pundi Bertuah ini. Ternyata benar, raden berdua orang yang tepat menerima Pundi ini", ucap Dewi Giripertiwi sambil menyerahkan pundi kecil seraya mencium kening kedua pemuda tampa itu.

Setelah kening Sanggara dan Sanggiri dicium Putri Giripertiwi, tiba-tiba pandangan Raden Sanggara dan Raden Sanggiri bisa melihat gemerlap sinar di kening bibinya, di kening Kakeknya Prabu Murdagiri dan Prabu Giripersada, malah mereka berdua juga melihat cahaya terang di kening Prabu Sutara dan Prabu Hokaparna, sehingga mereka bertanya kepada Sang Kakek Murdagiri.
" Oo.. cucuku, sebenarnya Prabu Sutara itu juga masih adik sampeyan, putra bibimu dari Patih Banda Asmara yang tergila-gila pada kecantikan bibimu seperti pernah dialami raden ", jawab Prabu Murdagiri.

"Jadi bibinda ini pernah menikah?", tanya Raden Sanggara kepada Kakeknya.

"Ceritanya panjang raden, singkatnya Patih Banda Asmara tergoda oleh kecantikan bibimu. Ia memaksa bibimu memenuhi nafsunya, hingga ahirnya melahirkan seorang bayi. Maha Prabu Indragiri, buyutnya raden berdua sangat marah menerima keaiban tersebut, sehingga mengutuk Sang Patih dan keturunannya menjadi kera. Sedangkan bibimu tidak mempan kutukan karena telah meminum ramuan keabadian. Sang Patih dan Sang Sutara, anaknya, dibuang ke hutan Giripurwa, kemudian mendirikan Kerajaan Sutawanara. Bibimu sendiri dibuang ke puncak bukit yang sulit dijangkau orang yaitu Negeri Sawargi", demikian penuturan Prabu Murdagiri seraya memperhatikan raut muka Dewi Giripertiwi yang tetap merunduk sambil bercucuran air mata.

" Apakah adinda Raden Sutara akan selamanya menjadi kera?, tanya Sanggara.

"Tidak Raden, mereka diperintahkan untuk berbakti kepada keturunan Prabu Indragiri pemegang dua pedang pusaka. Salah satunya pedang Rungusakti yang ada ditangan raden" jawab Kakek Prabu Murdagiri.

"Pedang yang ini kakek?" jawab Raden Sanggara sambil menghunuskan pedang.

"Betul raden, tapi hati-hati pedang itu jangan ditancapkan ditanah sekarang, Kakek belum selesai bicara", seru Prabu Murdagiri.

" Baik kakek, tapi siapakah sebenarnya Ki Hokaparna"?, tanya Raden Sanggiri.

"Ia adalah Uwak raden berdua, putra kakek Prabu Giripersada. Ia diperintahkan menyebarkan virus di Negeri Girimaya untuk menguji ayah kalian, Prabu Girilaksana. Sekaligus mengundang ayahmu agar datang menemui leluhurnya, setelah lama ia tinggalkan. Sebenarnya yang datang kedalam mimpi ayah kalian adalah kakek sendiri".

" Kakek, bagaimana keadaan sekarang penyakit ayahanda dan rakyat Girimaya? Bukankah pundi bertuah ini masih ditangan hamba?", Raden Sanggiri cemas.

"Tenang raden, sejak raden mampu mengalahkan Sang Hokaparna, dengan sendirinya pandemi di Negeri Girimaya pun hilang. Ayah raden dan rakyatnya sembuh dan sekarang sehat. Ramuan yang ada dalam pundi kecil yang di bawa oleh raden fungsinya untuk kekebalan, mungkin dinegara raden disebutnya vaksin. Jika raden sudah sampai di Girimaya, setiap Mata Air agar ditetesi ramuan secara merata"

"Kakek", seru Raden Sanggara pelan.

"Apa lagi cucuku"? Jawab Prabu Murdagiri senyum kecil.

"Bisakah sekarang hamba menolong Adinda Sutara"?, sahut Raden Sanggara.

"Bisa raden, tapi harus diingat, pedang pusaka itu hanya bisa digunakan dua kali. Dan kedua pedang itu sebagai kunci jalan pulang ke negeri Girimaya. Tanpa kedua pedang, raden tidak akan bisa pulang. Raden Sanggiri hanya mempunyai satu kesempatan lagi karena sudah menggunakannya satu kali waktu mencari Raden Sanggara. Jika Raden Sanggara menggunakan kesempatan pertama untuk menolong Raden Sutara maka yang terahirnya adalah kunci pulang. Tapi hati-hati juga dalam menentukan pedang mana yang lebih dulu digunakan. Jika salah semuanya jadi salah. Ikuti bilangan, raden"!,  Prabu Murdagiri menjelaskan panjang lebar.

Dorongan Raden Sanggara untuk menolong Raden Sutara adik misannya sangat kuat sekali, oleh karena itu tanpa ragu-ragu ia menancapkan pedangnya ke tanah. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, hingga setiap orang harus menutup telinga. Setelah gelombang suara kuat berhenti, semua gerombolan kera berubah jadi manusia, termasuk Raden Sutara sudah berubah wujud jadi seorang kesatria yang gagah walaupun tidak setampan Raden Sanggara dan Raden Sanggiri.
Raden Sutara segera bersimpuh kepada Putri Giripertiwi, ibunya yang sudah mengandung dirinya, kemudian bersimpuh kepada dua orang kakeknya, Prabu Murdagiri dan Prabu Giripersada. Terahir menghampiri Raden Sanggara dan Raden Sanggiri. Mereka bertiga saling berpelukan.

9. Menemukan Jalan Pulang

Prabu Murdagiri didampingi Prabu Giripersada tersenyum bahagia. Keturunan Giri ahirnya menemukan silsilah leluhurnya.

"Kakang, sepertinya kita sudah waktunya pulang", bisik Prabu Murdagiri kepada Prabu Giripersada, sambil melambaikan tangan menyuruh Putri Giripertiwi, Raden Hokaparna dan Raden Sutara mendekati dirinya.

Setelah semua berkumpul, kemudian Prabu Murdagiri mengibas-ngibaskan jubah kuning kebesarannya.Tiba-tiba semua menjadi hilang dari pandangan. Semua orang dan proferti yang mewarnai Cerita Pengembaraan Sanggara dan Sanggiri terhapus dari rangkaian Imajinasi. Tidak ada Murdagiri. Tidak ada Giripersada. Tidak ada Giripertiwi.Tidak ada Sutara. Tidak ada Hokaparna. Semua hilang dari cerita. Malah keadaan alam pun berubah. Tidak ditemukan lagi Keangkeran Kerajaan Bhumi Persada. Tidak ditemukan lagi Kemegahan Negeri Sawargi.Tidak ditemukan lagi bisingnya Kerajaan Sura Mandula dan Sura Wanara. Tidak ditemukan lagi keindahan Taman Puspagiri. Tidak ditemukan lagi misteri Kerajaan Giripurwa.

Yang tersisa tinggalah kedua Sinatria dari Girimaya, Raden Sanggara dan Raden Sanggiri yang saat itu ada di tengah hutan belantara, tidak mengetahui kemana jalan pulang.

Raden Sanggara teringat kepada pesan kakeknya bahwa kunci jalan pulang ada dikedua pedang mereka, ditangannya dan ditangan adiknya. Tapi pedang mana yang harus lebih dulu digunakan, mereka pun tidak mengetahuinya. Yang mereka ketahui bahwa masing-masing pedang hanya ada peluang satu kali penggunaan. Jika mereka salah memilih pedang untuk digunakan lebih dulu, akibatnya mereka tersesat selamanya.

"Adiku, bisakah engkau memecahkan teka-teki baginda kakek Murdagiri, pedang mana yang seharusnya lebih dulu digunakan?", tanya Raden Sanggara kepada adiknya.

" Maaf Kakanda, apakah kelebihan hamba dari seorang kakak?, hamba hanya sekedar seorang adik yang umurnya dibawah kanda. Hamba tidak berani mendahului kanda", jawab Raden Sanggiri.

"Baiklah adiku, kalau jalan pikiran engkau demikian, Aku paham teka-teki yang diberikan kakek, sebelum bilangan dua adalah satu, dan engkau adalah anak kedua sedangkan aku anak pertama. Jadi akulah yang harus lebih dulu menggunakan pedang", jawab Raden Sanggara.

Kemudian, Raden Sanggara menghunuskan pedangnya dan ditancapkan kedalam tanah. Seketika itu juga terdengar suara menggelegar sangat keras, disusul awan hitam pekat menyelimuti seluruh langit. Keadaan alam menjadi gelap gulita. Raden Sanggara dan Raden Sanggiri tidak dapat melihat sama sekali sesuatu yang ada diseklilingnya.

" Kakanda, engkau ada dimana.Aku tidak dapat melihat kanda, kata Raden Sanggiri.

"Aku ada disampingmu dinda. Sama aku juga tidak melihatmu. Cepat gunakan pedangmu, bukankah dapat mengeluarkan sinar", jawab Raden Sanggara.

Raden Sanggiri serentak menghunus pedang dan menancapkannya kedalam tanah. Tiba-tiba keluar sinar putih sangat menyilaukan melesat keatas langit dan menjadi teranglah sekeliling alam.

Namun ada hal yang mengagetkan Raden Sanggara dan Raden Sanggiri, yang sekarang terlihat adalah Ayahanda Prabu Girilaksana dan ibunda Ratna Kirana, tengah menangisi mereka yang terbaring lemah diatas tempat tidur.

"Syukur anakku sudah siuman, engkau telah dua hari pingsan, setelah mendengar larangan pergi mengembara dari ayahmu waktu di paseban", isak Sang Ibu?

Raden Sanggara dan Raden Sanggiri saling berpandangan karena merasa aneh waktu pengembaraan mereka yang dirasakan lebih satu taun, ternyata hanya dua hari saja.

" Adiku, apakah pengembaraan kita itu sekedar mimpi?", bisik Raden Sanggara kepada adiknya.

"Tidak mungkin kanda, sebab ini aku membawa Pundi dari Negeri Sawargi", kilah Raden Sanggiri, seraya menyerahkan Pundi Bertuah itu kepada Ayahanda Prabu Girilaksana.

Ayahnya hanya tersenyum, sebab Beliau Tahu apa-apa yang belum mereka ketahui. "Anaku, sebenarnya engkau telah mengadakan pengembaraan imajinasi, untuk mengetahui siapa leluhur engkau sebenarnya", Prabu Girilaksana bertutur.

Dan engkau telah berhasil mencegah wabah yang menimpa Negeri Girimaya.

TAMAT.


Senin, 13 September 2021

PRABU KUDA LELEAN SANG PENCIPTA KUJANG


PRABU BUNISORA
SANG PENCIPTA KUJANG

ku Ki Damar Giri

Sabenerna henteu gampang lamun kudu nerangkeun naon ari nu disebut Kujang?, sabab kagunaan hiji barang anu disebut kujang sorangan oge aya sababaraha pamadegan.

Diantarana :
1. Kujang dianggap Pakakas Urang Sunda,
2. Kujang dianggap Pakarang Prajurit Sunda,
3. Kujang dianggap Pusaka Raja Sunda.

Pamadegan nu nganggap kujang sabage pakakas, hartina ngagolongkeun kujang sarua jeung Bedog paranti ngadek, kampak paranti narok, peso paranti ngeureut, arit paranti ngarit jrrd. 
Pamadegang ieu dina ahirna teu bisa nerangkeun, paranti naon pakakas anu disebut kujang? Jeung oge , tina hasil panalungtikan kabudayaan sunda, teu manggihan hiji pakakas pikeun ngalakukeun pagawean nu tangtu, disebut kujang. Aya oge pakakas nu bentukna mirip kujang, disebutna parang paranti ngarimbas jujukutan.

Pamadegan anu nganggap Kujang sabage pakarang atawa sanjata prajurit sunda, ngagolongkeun kujang sarua jeung pedang, tombak, panah, jeung keris. Padahal, tina hasil panalungtikan kemiliteran tradisional, nunjukeun yen umumna prajurit ngagunakeun pakarang dimedan laga teh make pedang, tombak jeung panah. Anapon keris, biasa dipake ku para raja atawa pejabat tinggi karaton sabage pakarang pamungkas. Para raja di sunda, biasa na ngagunakeun Kujang pikeun pakarang pamungkasna, kitu oge sangeusna abad kadalapan. Atawa aya oge raja nu mawa duanana Keris Jeung Kujang.

Pamadegan nu nganggap Kujang sabage Pusaka Raja Sunda, hartina  kujang kana simbul kanagaraan nu boga tuah atawa kakuatan bathin pikeun nu makena. 

Kiwari, loba urang sunda nu make kujang pikeun simbul kasundaan dirina,  aya anu bentuk pin dipasang dina kopeah, peci atawa baju. Kujang samodel kitu geus kaleungitan makna sabage pakakas, sabab moal bisa digunakeun pikeun alat bantu gawe. Oge Kujang model kitu mah moal bisa dipake pakarang nyanghareupan perang. Meureun nu tinggal teh, jadi pusaka atawa simbul kasundaan. 
 
Tina Pustaka Siksa Kandang Karesian, meunang Prabu Jayadewata atawa Prabu Silihwangi, ngabedakeun tilu golongan pakarang:
1. Pakarang Sang Prabu nyaeta pedang, abet atawa pecut, pamuk, golok, peso teundeut jeung keris. Raksasa nu jadi dewa na, lantaran di pake mateni.
2. Pakarang Patani nyaeta: baliung, patik, kored, kujang (parang) jeung peso sadap. Detya nu jadi dewana, lantaran bisa dipake nyokot hal nu bisa dicapek jeung diinum.
3. Pakarang Pandita, nyaeta Kalakatri, Peso Raut, Peso Dongdang, Pangot jeung Pakisi. Danawa nu jadi dewana, lantaran bisa dipake taktak teukteuk. 
 
Kujang teh pakarang jeung pusaka khas Sunda, sabab miboga ujud jeung wanda nu tangtu, beda jeung pakarang sejen. Dina konsep awal na mah, Sang Pencipta mikahoyong barang nu disebut Kujang teh bisa dipake pakakas, pakarang jeung pusaka.

Numutkeun etimologi, kecap Kujang asalna tina KudiHyang bahasa Sunda Kuno. Kudi numutkeun bahasa sunda kuno ngandung makna Pakarang atawa Jimat nu miboga kakuatan gaib. Sedengkeun Hyang ngandung makna Dewa. Jadi Kecap Kujang mun dihartikeun sacara harfiah, nyaeta Pakarang Pusaka nu miboga kakuatan dewa.

Aya oge nu nyebutkeun yen Kujang teh tina kecap Ku Ujang. Anu hartina eta pakakas teh biasana dipake ku lalaki (ujang).

Sajarah nangtukeun yen mimitina aya Kujang jeung mimiti boga ajen jadi pusaka karajaan teh dina abad kadalapan, cindekna mah waktu Raja Galuh dicepeng ku Prabu Kuda Lelean atawa Hyang Mangkubumi Bunisora Suradipati. Aya oge nu nyebutkeun yen kujang diciptakeun waktu Karajaan Panjalu dicepeng ku Prabu Borosngora.

Pamadegan nu nyebutkeun Kujang diciptakeun ku Prabu Borosngora Panjalu, sabab nyaruakeun tokoh Bunisora jeung Borosngora. Padahal, dua tokoh eta teh beda jauh periode hirupna, disagigireun kujang leuwih kasohor jadi Pusaka Karajaan Pajajaran tibatan jadi Pusaka Karajaan Panjalu. 

Tegesna, anu mimiti nyiptakeun Kujang teh nyaeta Mangkubumi Bunisora Suradipati, raja panyelang Sunda-Galuh, nu ngagentos Prabu Wangi Lingga Buana nu gugur di Bubat. Ku kituna moal helok, upami salajengna Kujang janten Pusaka Karajaan Pajajaran, pakarang andelan Prabu Siliwangi, Jayadewata.

Tina purwacariosna mah, waktos Prabu Bunisora ngayakeun Tapa Brata di hiji tempat, anjeun na kenging ilham kedah "ngadesain-ulang" pakakas tatanen anu harita mirip kujang. Pakakas tatanen anu harita mirip kujang teh paranti ngaribas jujukutan, disebutna parang.

Salajengna Prabu Bunisora mantengkeun emutan, museurkeun cipta. Breh pakakas nu kedah di damel teh bentukna sepertos gambar "Jawadwipa". Upami ayeuna mah disebutna teh Pulo Jawa.

Prabu Bunisora enggal-enggal nepangan resi linuhung ahli pakarang, Resi Windu Supa, pandewesi keluarga karaton di Jampang Mangun. Ka Sang Resi, anjeuna ngajelaskeun gambaran nu aya dina ciptana.

Ngawitan na mah Sang Resi teh nolak ngadamel pakarang nu bentukna aheng tur teu galib, nanging saatosna dijelaskeun ku Prabu Bunisora yen bentuk samodel kitu teh hasil tapa brata, nya anjeuna nyanggeman nanging nyuhunkeun waktos bade semedi heula. Memang kitu para Resi harita mah, upami aya pesenan ngadamel pakarang teh tara langsung ngagarap, nanging tatahar rituak heula, numawi jaranten pakarangna teh arageung tuah.

Satutasna Resi Windu Supa rengse semedi tur tos ka gambar purwarupa (prototype) pakarang nu dipikahoyong ku Prabu Bunisora, lajeng mitembeyan padamelan. 

Geuning prak-prakan na teh jauh tina panyangka. Sugan teh ngaranna di panday mah baris harengheng sora ting galentrengna palu meupeuhan beusi menang meuleum, sing horeng, harita gawena Sang Resi mah cukup ku sila bari nyanghareupan parupuyan. 

Si Beusi cukup dikeupeul terus ngebul, teu lila beusi beureum lir meunang meuleum. Beusi panas teh terus dipurulukan bubuk tina rupa-rupa batu mulya. Ceunah beusi nu beureum teh alusna mah dipurulukan bubuk batu wulung nu ragrag ti langit.  Meureun mun ayeuna mah disebutna teh batu meteorit. 

Si Beusi panas teh terus dipencetan ku jempol jeung ramo panunjuk, dipeye-peye kawas kana peuyeum sampeu. Dipulay-piley jiga hipueun naker. Lamun digambarkeun ketakna Si Resi teh kawas tukang gulali keur nyieun rupa-rupa kaulinan budak.

Bari digawe kitu teh Resi Windu Supa tetep peureum musatkeun cipta, biwir kunyam-kunyem mapatkeun kasaktian. Sagala ajen filosofi dibudal keun kana pakarang nu keur di jieun. Sabenerna Sang Resi teh lain jalma jore-jore. Kabeh Pustaka ti luluhur Galuh geus ka kawasa ku anjeuna. Pakarang anu engkena baris disebut Kujang teh di polongoan tilu liang dina pundukna. Sang Resi hayang nerapkeun falsafah Tritangtu Jaya dibhuana, nu ka kawasa ku anjeuna tina Pustaka Watang Ageung jeung Sasana Kerta.

Ari bentuk Kujang kawas Jawadwipa teh lantaran aya konsep idealisma Prabu Bunisora hayang nyiptakeun tanah Jawa aya dina karukunan. "Gemah Ripah Repeh Rapih".
Jauh tina pacengkadan, sasatruan jeung peperangan. 

KUJANG jeung Mpu Windu Supa tina ciptaan Prabu Bunisora, sanajan henteu sasohor Mpu Gandring jeung Keris Ken Arok TETEP JADI PUSAKA SUNDA NU BISA NGIKET RASA KASUNDAAN. KUJANG LAIN PAKARANG NU NGABALUKARKEUN  GUYANG GETIH.

Selasa, 07 September 2021

SASAKALA MAUNG PANJALU JEUNG SASAKALA PANUMBANGAN



Ku Ki Damar Giri

Bubuka

Bismillah,
Kalayan Asma Allah Nu Maha Luhung.
Nu Agung Mapayungan.
Nu Maha Jembar Kawelas-Asih
ka satungkebing Langit
ka saeusi Jagat sajarah

Nu Maha uninga kanu buni.
atawa nu nyamuni.
atawa disamunikeun
Nu Maha Sidik 
Nu telik kana kedal jadi ucap.
Nu diukir dina candi
Di tatah dina prasati

Ki Dalang, medar Sasakala
Tina Dongeng rek didongengkeun
tina Carita rek dicaritakeun.
Mun nyata eusi sulaya,
Neda Sampun Pangapunten.
Neda Jembar Pangampura.

Bongan ieu carita, 
katampa tina carita.
Tina letah nu loba salah.
Tina pangreungeu nu geus weureu.
Ku dongeng nu ngabacacar,
di pasar-pasar 
jeung di emper-emper.

Aya nu di piteda,
Malar nu ngaos teu sasar.
Mumusti ka prasati,
Mumuja ka Sasakala.

Ari Carios nu di pedar, nyaeta Sasakala Maung Panjalu. Nu sok dipitutur ku Juru Pantun, diguar disamaraan, malar boga ajen seni. Najan loba teu kaharti, mun ditarimana ku gawe nalar. Antukna dongeng ngabacacar, tina sabiwir tatalepa jadi salaksa. Anu sok jadi tinular, ka putra, putu tur buyutna. Sasakala Maung Panjalu geus jadi carita rahayat atawa forklor nu kasohor loba mistis jeung mitosna.

Ceunah Maung Panjalu teh aya dua, maung Bikang jeung maung Jalu. Duanana teh kajajaden, asalna putra/putri kembar, seuweu Raja Galuh Kawali, anu lahir di hiji tempat, nu disebut Panumbangan.

Mupus Cadu Bubuyutan.

Lamun di lelebah ku Sajarah, anu jadi Raja Galuh Kawali harita teh Prabu Niskala, putrana Anggalarang atanapi Prabu Wastu Kancana. Nu kawentar gaduh gelar Prabu Wangisutah putra Prabu Wangi atanapi Prabu Lingga Buana anu gugur di Bubat.

Kajadian di Bubat, sabenerna geus ngabengkah keun hubungan antara Sunda jeung Jawa nepi ka aya pantangan kawin, urang sunda jeung urang Jawa. Perang bubat, pikeun urang sunda, mangrupakeun reaksi dina nanjeurkeun harga diri, lantaran sakralna jatukrami dicodekaan politikna Maha Patih Majapait.

Dina Sasakala Maung Panjalu, mimiti nembrak aya gambaran ti Pihak Majapait pikeun ngayakeun normalisasi hubungan kadua nagara, ngaliwatan tali pernikahan, anu pernah cidera puluhan taun katukangna.

Ari Raja Sunda Galuh harita, kagungan putri nu geulis ti ajali, lain ngan sakadar babasan, lir ibarat titisan Diah Pitaloka, ninina nu perlaya di Palagan Bubat. Sang Putri teh kagungan wasta Dewi Kecana Larang. Nanging aya oge anu nyebatkeun, saleresna nami putri raja teh Dewi Suci Larang.

Di Majapait, purasaba atanapi ibukota Karajaan Wilwaltikta, anu nyepeng kalungguhan raja harita, nyaeta Bramawijaya. Mung duka saha nami tegesna, margi Bramawijaya mah sakadar, gelar sanes jenengan raja. Aya sumber anu nyebatkeun yen anu ngadahup ka Dewi Kencana Larang teh sanes Raja Wilwaktikta, nanging putrana nyaeta Aria Gajah Wulung, anu harita  janten wirasaba atanapi putra mahkota.

Ka kocapkeun di Karajaan Wilwaltikta, Sang Prabu Bramawijaya keur anteng neuteup bulan purnama. Nyawang bulan bari nyawang-nyawang  kajadian mangsa ka tukang. Kajadian anu ngabengkahkeun dua karajaan. Karajaan Wilwaltikta jeung Karajaan Sunda.

Najan kajadianana geus lila pisan, geus kaliwat puluhan taun ka tukang. Tapi balukarna tetep aya gurat tatu dina kalbu urang sunda. Kajadian bubat teu weleh ngaganggu pikiran anjeuna harita. Utamana mah baluas pajauh huma jeung nu jadi dulur. Ongkoh mantengkeun emutan, milari cara hayang mupus cadu bubuyutan ti baraya di tatar sunda.

Anjeun na gaduh niat luhung dina manahna. Niat pikeun nyambungkeun deui duduluran, anu kungsi kapegat ku rasa ceuceub. Sabab ceuk emutan na mah, buruk-buruk ge papan jati, najan dianggap goreng luluhur Majapait tapi ulah diteumbleuhkeun ka turunan nana, da dihenteu-henteu ogé, upama dijujut ka puhuna,  ti karuhun Raja Wilwaltikta jeung Raja Sunda téh, tunggal sakocoran.

Harita moncorongna purnama, kawas bisa nyaangan poekna hate Sang Prabu; ku anjeuna kaemut gaduh putra nonoman nu masih lagas nyaeta Arya Gajah Wulung, disagigireun eta kaemut deui yen Raja Galuh oge kagungan putri geulis tos parawan. Kumaha nya lamun barudak teh diamprokeun?, ceuk emutan Sang Prabu. Sugan bae ngajodo, da mun ditempo rupa mah, lain pedah nu naksir Bapana, Aria Gajah Wulung teh Kasep, pinter jeung wekel kana agama.Jaba budak kaula teh jadi Wirasaba, anu jagana bisa nampa waris kalungguhan raja. Palebah dinya mah Prabu Bramawijaya ngarasa gede hate.

Tapi kumaha lamun kanyataan na Raja Galuh nolak sapajodogan, lantaran masih keneh nyekel cacaduan, atawa gede keneh kasieun kajadian katukang, kaalaman deui? Leuh, berarti kaula kudu ngajelaskeun sajentrena, apan ayeuna mah lain rek ngangkir calon panganten istri ka Majapait kawas baheula. Ayeuna mah kaula boga rencana ngayakeun pesta rongkah teh di kaprabon Surawisesa, sakalian kaul bisa nalikeun deui duduluran. Jeung estu niat kaula teh keyeng hayang ngaitkeun deui tatali wargi, teu boga tujuan sejen nu ngandung unsur politik. Kitu pagaliwotana emutan Sang Raja harita.

Prabu Bramawijaya énggal nyauran Sang Patih. Hoyong kamandang kana pamaksudan pikeun ngalamar putri Karajaan Galuh.Jeung menta timbangan patih dina tarekah nyambungkeun deui tali silaturahmi anu kungsi pegat jeung urang sunda. "Ceuk kaula mah kasalahan karuhun urang baheula, henteu hadé lamun terus dikukut, sarta henteu perlu diwariskeun ka anak-incu",  kitu sikap Sang Raja anu didugikeun ka Sang Patih.

Sang Patih sapuk kana pamaksudan Sang Prabu. Niat rajana diajen luhung tur perlu pisan di dukung. Poé éta kénéh Sang Raja ngadamel lalayang kintunkeuneun ka Galuh. Seratan panjang lebar, ngagunakeun lontar leuwih ti sapuluh lambar. Basa Sangkrit, mitutur malapah gedang, tiap kecap miboga makna anu jero. 

Harita Sang Patih tatan-tatan, nyiapkeun opat urang utusan jeung milih kuda nu harade, sarta nyadiakeun bekel, pikeun ngajugjug ka Karajaan Galuh. Éta rombongan di kokolatan ku Bala Mantri.

Dina waktu anu geus ditangtukeun, utusan indit ninggalkeun nagarana maju ngulon. Lalampahan anu henteu gampang, lantaran nyorang leuweung geledegan jeung ngaraas sababaraha walungan. Kadang kudu nyanghareupan sato liar tur galak. Boh maung, babi, oray atawa buhaya lain ngan sakali bisa dicangkalak.

Kacaturkeun éta rombongan téh geus tepi ka puseur dayeuh Galuh, Karaton Surawisesa anu perenahna di Dayeuh Kawali. Utusan Wilwaltikta meunang pangbagéa anu someah, boh ti rahayat Galuh leuwih-leuwih ti Rajana. Mantri anu jadi kokolot utusan masrahkeun surat ti Prabu Brawijaya, unggelna seja ngalamar Putri Kencana Larang, bari panjang lebar ngajelaskeun niat pikeun ngaraketkeun deui duduluran anu pernah pugah. Maheutkeun deui tali silaturahmi antara Karajaan Wilwaltikta jeung Karajaan Sunda Galuh.

Sang Raja Prabu Niskala nampi éta lamaran, lantaran ngajen kana niat luhung Sang Raja Wilwaltikta. Ajakan pikeun hirup sauyunan, mémang kudu ditarima kalawan jembar. Geus lain waktuna Sunda ngalakukeun cacaduan komo kudu diturunkeun ka buyut-buyutna alatan kasalahan luluhur. Manakomo, Sang Putra Prabu Bramawijaya téh yuswana teu sabaraha géséh sareng Nyi Putri Kencana Larang. Jabi disebatkeun dina lalayang yen putrina baris janten garwa padmi ti wirasaba Karajaan Wilwaltikta.

Tumut kana pitutur sepuhna, kapalay nujanten rama, Putri Kencana Larang nampi panglamar Wirasaba Wilwaltikta. Anjeun na kersa dipihukum janten Garwa Padmi Aria Gajah Wulung. Harita kénéh ogé ditangtukeun waktu pertikahan wanci nu mustari pikeun jatukrami.

Dina waktu anu geus ditangtukeun, Sang Prabu Bramawijaya ngiringkeun calon panganten Raden Gajah Wulung dibarengan rombonganana, angkat ka Kawali. Sadugina ka Galuh, teras baé diréndéngankeun nyandingkeun kembang Pasundan Kencana Larang.

Mungguh nurub cupu, nu kasép sareng nu geulis. Der we ngayakeun pésta kacida rongkahna. Pésta nagara tujuh poé tujuh peuting. Sagala hiburan dipintonkeun, tatabeuhan ngageder taya reureuhna, lir anu némbongkeun kabungah nyacapkeun kasukan. Padahal dina waktos harita, Sang Raja Galuh mendak katugenah manah, dumeh nujadi Putra Prabu Jayadewata tur nu jadi lanceuk Prabu Susuk Tunggal Raja Sunda Pakwan nampik sumping ka uleman, jalaran nganggap Prabu Niskala ngarumpak purbatisti Sunda ngawinkeun putri ka urang Jawa.

Sanggeus réngsé pésta jeung sukan-sukan,
Putri Kencana Larang diboyong ku Prabu Anom Gajah Wulung ka Majapait. Ngiring ka ingkang carogé ngaheuyeuk rumah tanggana éstuning reugreug pageuh, ditilaman ku kanyaah dipupuk ku kadeudeuh.


Sasakala Ngaran Panumbangan.

Sababaraha bulan ti saprak Putri Kencana Larang diboyong ka Majapait, anjeun na wawartos ka carogéna yén patuanganna tos ngeusi. Putri Kancana Larang kakandungan tos tilu sasih. Sang Putra Mahkota kalintang suka manahna, anjeuna baris kenging katurunan nu bisa neruskeun kalungguhan jaga.

Nalika bobotna badé majeng ka salapan sasih, bet jorojoy dina manah Nyi Putri, hoyong nyelang mulih ka nageri, kumargi palay ngababarkeun di bali geusanna ngajadi, nyaeta di dayeuh kawali bari disakasikeun ku ibu-ramana katut kadang wargi.

Kawitna mah ku carogena teu kawidian, jalaran Nyi Putri dina kaayaan ngandung bulan alaeun, anu ceuk itungan mah, moal beak dua minggu ogé orok baris medal. Nanging ku margi Nyi Putri keukeuh hoyong babar ditungkulan ku sepuhna sareng nyariosna dibarung ku merebey cisoca, atuh ahirna mah Sang Caroge léah manah. “Mangga atuh ari Rai maksa angkat mah. Mung hapunten Engkang teu tiasa ngajajapkeun, ku margi nuju pameng mayunan tugas ti Sang Rama”, saur Sang Prabu Anom Gajah Wulung ka garwana.

Lajeng bae Prabu Gajah Wulung ngutus Mantri Kapetengan, ngajajapkeun Nyi Putri ka Kawali. Rombongan na lengkep pisan, diiringkeun ku para ponggawa jeung para emban. Malah bari mawa nini paraji sagala.

Sanggeus bekel katut para pangiringna lengkep, bring rombongan Putri Kencana Larang angkat ti Majapait seja ngajugjug ka Galuh. Nyi Putri angkatna ditandu kana Joli. Diaping ku Mantri katut paraponggawa ngangge kuda.  Angkat nyacat ngambah leuweung geledegan, mipir-mipir pasir, mapay-mapay jungkrang, bari kedah nyorang jalan rarumpil, nanging katingalna paroman Nyi Putri bear marahmay, panginten kitu tea na mah badé tepang sareng ibu-ramana.

Sanggeus saminggu lumampah, rombongan Nyi Putri anjog ka hiji tempat, sisi walungan Citanduy di Lamping Gunung Sawal. Tempat eta teh wates Karajaan Panjalu jeung Karajaan Sukapura, anu sabenerna mah geus deukeut kanu dituju, ka purasaba Galuh, Karaton Surawisesa di Kawali.  

Dina waktos harita, Nyi Putri katingalna nahnay, pucet sareng lesu. Pameunteuna katingal juuh ku karinget tiis. Patuanganna karaos pupurilitan sapertos nu badé babar.

Salajengna Mantri Kapetengan marentahkeun supaya rombongan eureun, sarta kudu nyieun saung pikeun reureuh. Saung nu diadegkeun teh kudu tohaga jeung lega, sabab bisi enya Nyi Putri babar di dinya. Mantri Kapetengan salaku ketua ningali galagat Nyi Putri, kana bakal lami reureuhna di tempat eta.

Pikeun nyieun wangunan saperti kitu, ngabutuhkeun waragad kai golondongan nu baradag. Atuh tatangkalan galede nu rajeg di sabundeureun wewengkon eta teh dituaran. Loba tangkal rubuh pating gedebug, pating gudibag ngaluarkeun sora anu kacida harangana. Urang wétan mah nyebut tangkal kai rarubuh teh ku kecap “tumbang”. 

Para ponggawa digarawena bari ceuyah ear-earan. Ngagusuran tatangkalan teh bari pating gorowok: "Rawe-rawe lantas Malang-malang Putung!!. Di tembalan ku baturna tipaanggangan, keur nuar tatangkalan di tabeh lamping : "Horeeee uwis tumbaaang!!."

Teu lami, sanggeus saung pangreureuhan rengse diadegkeun, Dewi Kencana Larang ngalahirkeun. Orokna kembar sapasang: istri-pameget. Anu mimiti medal téh orok anu pameget, anu matak dianggap baé rakana. Ari anu istri, dianggap raina.

Ari balina, ku nini paraji dilebetkeun kana kendi Kuningan bawa ti Majapait. Kendi teh terus diteundeun di handapeun tangkal pangbadagna nu dahanna ngarampidak, teu jauh ti saung tempat Nyi Putri ngalahirkeun.

Saminggu ti harita, saparantos salira Nyi Putri katingal jagjag tur orok barerag, rebun-rebun keneh rombongan neruskeun deui lalampahan, ngajugjug ka Kawali, puseur dayeuh Sunda Galuh. Nanging sateuacan bral miang, Dewi Kencana Larang nyarios ka Mantri Kapetengan : "Paman, kaula geus ngalahirkeun di ieu tempat, bari teu nyaho ngaran tempat ieu naon. Jaba kaula teh geus neundeun bali orok kaula handapeun tangkal kai nu gede itu. Bisi Rama Prabu di Kawali, naroskeun tempatna, kudu naon atuh disebutna ngaranan tempat ieu teh?"
Mantri Kapetengan ngandika: "Sampun Gusti putri, pikeun ngadegna saung tempat ngalahirkeun gusti teh, loba pisan tatangkalan anu tumbang. Kumaha lamun tempat ieu teh dingaranan Panumbangan anu hartosna tempat rarubuhna tatangkalan nu galede?". 
Dewi Kencana Larang ngawaler : "Enya bener alus Paman, keun engke kaula nyaur ka rama prabu supaya tempat ieu teh di ngaranan PANUMBANGAN.


Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana

Poe eta keneh, sanggeus sarangenge lingsir ngulon, rombongan Nyi putri geus tepi ka Kawali. Padahal waktu meletek panon teh kakara asup wewengkon Panjalu. Waktu nincakeun lengkah di Karaton Surawisesa, anjeun na dibagéakeun ku ibu-ramana, dibarung kabungah anu taya hinggana. Komo deui ieu mulihna bari nyandak murangkalih, kembar sapasang anu kasép jeung geulis, éstu mulus taya kuciwana.

Lajeng Nyi Putri, galecok ka ibu-ramana nyarioskeun lalampahana, ti kawit angkat ti Majapait dugi ka babarna di hiji tempat di lamping Gunung Sawal, anu teu dipikanyaho ngaran na. 
"Rama Prabu, atuh tempat ngalahirkeun teh namian bae Panumbangan", usul Sang Putri ka ramana. 
" Ke.. ke.., naha ngaran teh aneh kitu? Na naon hartina eta teh, geulis?",  Prabu Niskala nyaur pinuh kadeudeuh. 
"Panumbangan teh, asalna tina kecap tumbang, mun ceuk basa urangna mah rubuh. Harita teh, waktos kaula deuk babaran ngadamel saung pang reureuhan weweg naker. Waragadna tina kakaian. Atuh salajeng na mah paman Mantri katut ponggawa nuaran tatangkalan nu galede. Tangkal kai rarubuh, patinggedebug sorana haranga pisan. Tah, kanggo pangemut-ngemut kaula lahiran di tempat eta, paman mantri mere ngaran Panumbangan, nyaeta tempat tumbang atawa rarubuh tatangkalan", Dewi Kencana Larang ngajelaskeun ka ramana, celembeng naker.
" Oh, baruk kitu? Lah gampang soal ngaran mah, geulis. Keun engke urang resmikeun, da mun teu salah mah kawasan eta teh kaasup Karajaan Panjalu, hartina masih keneh kaasup karajaan urang. Anu penting mah anak jeung incu Ama salamet jeun sarehat", Sang Raja ngadawuh. Lajeng Dewi Kencana Larang nyaur deui ka ramana :
"Euuh, ieu deuih Ama, murangkalih teh teu acan dipaparin nami. Panginten saena mah dipasihan nami ku Akina."

Saparantos diétang sagala rupina, dipeleng tur ditimbang, dua murangkalih dipaparin jenengan ku éyangna. Anu pameget Bongbang Larang, ari anu istri Bongbang Kancana. Salangkung oge katingali, nami orok kembar teh dicandak tina Kencana Larang nami Ibuna.

Éta murangkalih jeung ibuna dirorok ku éyangna, da geuning Kencana Larang teh henteu mulih deui ka carogéna. Ari nguping kecewas-kecewis ti abdi karaton mah, Prabu Gajah Wulung teh nikah deui di Majapait.

Maju waktu, ganti poe, dua murangkalih katingal morontod pisan. Beuki gedé téh beuki témbong cahayana. Bongbang Larang kasép lir Déwa Kamajaya. Bongbang Kancana geulis lir Déwi Ratih. Kacida pisan aranjeuna dipikanyaah kunu jadi éyang, kawantu putu ti putra istri kameumeut.

Tapi nepi ka umurna nincak rumaja, éta barudak téh henteu nyahoeun nujadi bapa pituin, lantaran kacida dibunianana ku sakabéh pangeusi karaton. Sang Raja ngawanti-wanti kasadaya abdi-abdi, sangkan ulah aya nu wani nyaritakeun yen bapana éta barudak aya di Majapait. Lain ku nanaon, akina melang sok bisi incuna indit nepungan ka Majapahit. Prabu Niskala sieun kaleungitan incu nu kacida dipikanyaahna, bisi minggat ti Karajaan Galuh.

Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana,
panasaran hayang nyaho bapa nu saéstuna. Unggal nanyakeun ka sing saha baé, jawabana sarua, yen nujadi bapa téh Raja Galuh. Éta jawaban henteu nyugemakeun haténa, sabab nu jadi indung ka Raja Galuh téh nyebut Rama Prabu, hartina ka maranéhna téh perenahna incu, da maenya ka ramana ibu kudu nyebut Bapa?

Nepi ka hiji mangsa mah, éta dua budak téh ngadesek saurang emban kapercayaan ibuna, supaya bisa ngabéjakeun bapana anu sajati. Ku lantaran terus diguliksek, ditanya ku duaan méh unggal usik. Ahirna éta emban téh éléh déét. Pok bae ngomong ngaharewos: “Rama Radén téh anu saleresna mah Sang Prabu Gajah Wulung Raja Wilwaltikta”

Waktu kanyahoan ku Sang Raja yen Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana geus apaleun bapana, tangtu we manah Sang Raja  ngarasa reuwas jeung kaget. "Ari ka hidep saha anu méré nyaho?" parios Sang Raja rada bendu. Bongbang Larang, kitu deui Bongbang Kancana, henteu daék betus lantaran inget kana jangjina, moal ngabéjakeun jalma anu méré nyahona.

Ngan ti harita Bongbang Larang terus ngurihit, sangkan akina ngidinan pikeun indit ka Majapait. Tapi Raja Galuh henteu ngidinan baé, lantaran melang bisi kumaonam di jalanna. Ahirna dina hiji peuting, Bongbang Larang minggat tikaraton, niatna geus gilig rék indit ka Majapait, nepungan bapana anu jadi raja di Karajaan Wikwaltikta. 

Isukna, sapangeusi karaton ibur, Bongbang Larang teu aya nyampak di karaton. Ibuna milarian kasakabeh ruangan karaton, bari juuh cisoca. Eyangna cakah-cikih geumpeur bari tuhtah marentah. Bur-ber anu naréangan ka ditu ka dieu. Weléh anu ditéangan henteu kapanggih.

Kacarioskeun Bongbang Kancana, sanggeus nyaho nu jadi lanceuk ngejat, anjeuna rerencepan nyusul, sarua minggat ti karaton. Nanging henteu lila ogé Bongbang Larang kapanggih ku Bongbang Kancana, lantaran saméméhna geus jangji tepung di hiji tempat anu dirusiahkeun.

Sasakala Maung Panjalu

Lajeng duanana neruskeun lalampahan ngajugjug ka Majapait. Barang nepi ka hiji tempat, anu baheulana mah di tempat eta maranehanna di lahirkeun, Bongbang Larang kacida hanaangna. Kotéténgan néangan cai ka ditu ka dieu, weléh henteu manggih.

Geus kitu kersaning Gusti, Bongbang Larang ningali Kendi handapeun tangkal kai badag, malah geus dibeulitan akar. Kendi ditoong ku Bongbang Larang, aya caian bersih tur ngagenclang herang. Katingalina bangun nyecep tiis, matak uruy kanu hanaang.

Henteu diengkékeun deui, cai dina Kendi téh ditotor ku Bongbang Larang mani ngalekik nepi ka béakna. Teuing kumaha mimitina, ngarana ge dongeng, ngadadak liang sungut kendi teh ngagedean, blus téh kendi asup kana sirah Bongbang Larang seret ka beuheungna. 

Kendi nu jieun tina kuningan teh dicoba dilaan kuduaan bari ugal-ugil hese eun pisan. Antukna Bongbang Kancana beakkeun akal, teu bisa ngalesotkeun kendi tina mastaka Bongbang Larang. Lajeng Bongbang Kancana indit bari nungtun Bongbang Larang neangan tulung.

Sakur jalma anu dipéntaan tulung, euweuh saurang oge anu bisaeun ngalaan éta kendi. Ngan kabeneran aya jalma anu ngabéjaan,
sangkan Bongbang Larang dibawa ka saurang resi anu boga elmu luhung jeung Sakti.

Resi eta teh ayana di Garahang, anu taya sanes Resi Gunawisesa Wikutrenggana anu katelah Aki Garahang tea.

Barang tepung jeung Aki Garahang, barabat Bongbang Kancana nyaritakeun lalampahan nepi ka ahirna notor cai tina kendi. Atuh sanggeus ngadéngé caritaan Bongbang Kancana kitu pok Aki Garahang ngomong antaré : “Éta téh pelajaran keur hidep duaan, yén sagala kalakuan anu henteu diidinan ku kolot, sok matak goreng balukarna kana diri. Jeung deuih, kasep, geulis, ari nginum notor tina kendi téh kalakuan teu hadé.”

Aki Garahang karunyaeun kana nasib nu karandapan Bongbang Larang. Pok Aki Garahang nyaur: “Keun sugan bisa, urang akalan ku Aki.” bari ngoloyor ka kamarna, mapatkeun elmu tali paranti karuhun. Aki Garahang, sidakep sinuku tunggal, neneda pituduh ka Hyang Widi. Salajengna Aki Garahang meunang ilapat, yén éta kendi teh asalna ti Majapait, kudu dibeulah ku pusaka sunda. Ceunah ceuk uga, apesna Majapait teh lantaran Sunda miboga pusaka pemersatu nyaeta Kujang. Aki Garahang nyokot kujang, tuluy dikadékkeun kana kendi kuningan, teu sakara-kara, kendi bencar sapada harita. Beubeulahan kendi ngacleng ka hiji talaga nu disebut Cipangbuangan.

Dugi ka kiwari Kujang Aki Garahang masih aya, disimpen ditempat panyimpenan barang karamat karajaan Panjalu di Bumi Alit Panjalu.

Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana, di caram neruskeun lalampahanna, aranjeuna dititah nganjrek heula di saung Aki Garahang.

Katempo saliwat mah dua nonoman téh nurut ka Aki Garahang. Nepi ka dina hiji poé, Aki Garahang rék iinditan. Saméméh Aki Garahang indit, anjeun na papadon heula, sangkan Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana, ulah wani-wani ulin ka Cipangbuangan. Ari Cibangbuangan téh mangrupa talaga, anu caina kacida cinémbrang hérang, matak piresepeun jang kokojayan.

Abong oge nonoman keur meujeuhna belekesenteng, dicaram téh lain nurut, kalah ka panasaran. Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana, siga anu ngahajakeun ulin ka Cibangbuangan. Bréh ningali cai talaga anu sakitu hérangna, jorojoy baé lanceukna aya karep hayang kokojayan. Teu loba carita, gebrus Bongbang Larang ancrub, terus kokojayan bangun nu ngeunaheun naker. Bongbang Kancana kabitaeun, brus ka talaga. Duaan kokojayan sukan-sukan, bari arulin cai, silih simbeuh silih seblok.

Lila-lila, tina saluar awak dua nonoman, barijil bulu belang konéng jeung hideung. Janggélék baé duanana jadi maung. Maung Kajajaden jalu jeung bikang.

Barang duanana saladar kana éta kajadian, antukna ceurik paungku-ungku, bari silih rangkul. Duanana kaduhung geus ngarempak larangan. Numatak mun kaduhung ti pandeuri mah hanjakal balukarna.

Dua maung kajajadén teh balik deui ka saung Aki Garahang, tapi Aki Garahang geus nyampak deui di imahna. Geus teg baé kana hate Aki Garahang boga sangkaan yen éta maung nu nyampeurkeun ka saung na téh kajajadén dua nonoman, Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana, anu geus ngadon mandi di Cipangbuangan.

Pok Aki Garahang ngomong bari dareuda,
“Ayeuna mah Aki henteu bisa nulungan,
lantaran hidep duaan geus ngarempak larangan jeung henteu nurut kana papatah kolot.”

Dua maung kajajadén teu panjang tatanya. Terus amitan ka Aki Garahang, rek neruskeun deui lalampahanana ka Majapait.

Barang meuntas di Walungan Cipanjalu,
duanana ampir-ampiran keuna ku ajal, lantaran kajiret ku akar oyong, jeung terus ka bawa palid ku cai walungan nu umpal-umpalan. Saterusna asup kana Gawul atawa badodon  paranti tataheunan lauk di Walungan. Ari Gawul teh dijieuna tina tangkal Kawung anu ditotos, dipolongoan tengahna.

Salajengna Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana  ditulungan ku saurang kokolot Kampung. Gawul nu jerona aya dua maung kajajaden teh dihanjatkeun ka darat. Terus Si Kokolot Kampung mawa kampak. Gaplok, gaplok, gaplok Gawul di tarok nepi ka leuwih sapuluh kali hembatan, tapi Gawul teu beulah-beulah.

Ku lantaran geus ngarasa taak, Gawul di bawa ka Karaton Panjalu di Dayeuh Luhur Maparah. Salajengna Si Kokolot kampung ngadeuheus Prabu Cakradewa, nyanggakeun Gawul eusi Maung Kajajaden tea.

Ari Raja Panjalu, Prabu Cakradewa teh kawentar jadi raja nu sakti mandraguna, luhung ku elmu meuweuh ku pangaweruh. Dua maung kajajaden anu kacerek Gawul, teu hese jeung teu lila, bisa dikaluarkeun. 

Prabu Cakradewa permana paningalna yen dua maung eta teh saleresna kajajaden ti seuweu karajaan Galuh Kawali. Atuh salajengna mah Sang raja ngaluarkeun kasaktian bari ngusap sirah maung duanana. Dadak sakala, maung janten tiasa nyarios sepertos manusa henteu ngagaur sakumaha ilahar sora maung. Salajengna Sang Prabu ngajak ngobrol ka dua Maung Kajajaden eta. Waktos Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana ditaros ku Prabu Cakradewa, maranehan na nguningakeun yen maksadna bade nepangan ramana di Majapait.

Minangka mulang tarima ka Raja Panjalu, dua maung kajajaden janji rek kumawula ka karajaan Panjalu, atuh saterusna mah disebut "Maung Panjalu". 
Maung Kajajaden nu disebut maung panjalu, janji moal wani ngaganggu ka kabeh turunan panjalu. Mung nyebutkeun; baris datang dina wujud pikasieuneun, pikeun ngelingan urang Panjalu, lamun ngarumpak pantangan, nyaeta:
1. Nginum di totor tina Kendi.
2. Melak Oyong atawa tatanen nu ngarambat.
3. Nyieun Gawul tina Kawung henteu di belah heula.

Memang eta teh ngan sakadar dongeng anu kandel ku mithos jeung mistis, tapi ari ku songong jeung sombong mah baris papanggih jeung kanyataan. Ngarumpak pantang, kaalaman pisan ku urang panjalu (punten identitasna disumputkeun), waktos zaman "Pager Bitis" di Gunung Sawal, anjeun na ngadahar liwet langsung ditotor tina kastrol. Sanajan harita geus digeuingkeun ku baturna tapi kalah nempas yen maung oge sieuneun ari loba jalma mah. Harita teh tengah poe ereng-erengan, ngadadak tina rungkun ngagorobas Maung sagede Munding, langsung ngadepong hareupeun kastrol bari mencrong ngaherengan. Maung teh teu nyakar teu ngerekeb, ngan kitu be nembongan bari ngadepong. Atuh puguh, jalma nu dahar liwet ditotor langsung tina kastrol teh ngalenggerek sapada harita, teu eling-eling sapoe-sapeuting. Malah dugi ka sasasih nyaurna jadi arapap-eureupeup. Ari geus cageur, nyebatna teh saking reuwas kaliwat bates, ngabayangkeun lamun eta maung teh bener-bener maung liar. Untung be nu nyampeurkeun teh maung kajajaden, jadi turun ti Gunung teh teu kungsi asrukan-asrukan, lantaran balikna ka lembur ditanduan. 
Lah, dasar si eta mah bodor Cimendong.

Maung Panjalu Tepang Sareng Rama

Satutasna Maung Kajajaden disalametkeun ku Prabu Cakradewa, salajengna neruskeun lalampahanna ka Majapait. Perjalanan harita mah bari jeung dibekelan elmu ku raja Panjalu. Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana sanajan wujudna Maung, tapi tiasa nyaur kawas manusa, sok sanaos sorana rada ngagerem handaruan. 

Ahirna, dua maung teh anjog ka Karaton Majapait, tapi barang dugi ka lawang saketeng, langsung dikepung ku gulang-gulang bari lengkep ranggeteng pakarang. Anggapan prajurit Majapait mah karaton diranjah dua maung galede pisan. Untung bae Maung jajadian Bongbang Kancana nyaur bari ngalengis, lamun teu kitu, dua maung teh nemahan pati ditarumbak prajurit. 

Anu ngarepung maung kagét tingraringeuh, mireungeuh aya maung bisa cacarita. Bongbang Larang nyaritakeun, saenyana manéhna duaan téh putra Raja Majapait, Sang Prabu Gajah Wulung, ti Putri Kencana Larang teureuh Sunda Galuh. "Kuring  duaan jauh-jauh ngajugjug, hayang panggih jeung Rama Prabu", ceuk Maung Bongbang Kancana.

Salajengna, gulang-gulang duaan ngadeuheuskeun dua maung ka Prabu Gajah Wulung anu nuju hempak di paseban. Dua maung kajajaden mapah ngalenghoy teuneung jeung antare diantara gulang-gulang pangiringna. Model leumpang kawas kitu nu disebut Macan Teunangan teh, najan mintonkeun wanda nurut tur wilut, nanging dangongna tetep waspada mancarkeun sima. Waktu para gulang deku sinembah di payuneun Sang Prabu, dua maung oge milu ngadepong bari sirahna tungkul. Atuh Sang Prabu katut sakabeh pajabat nu keur hempak di paseban teh ngarasa reuwas, kaget jeung helok. Ari karasana reuwas, dumeh ka paseban ngadadak kaasupan sato galak jeung gede pisan. Anu matak jadi helok, lantaran ngabandungan tingkah paripolah dua sato teh bet nyahoeun tatakrama, kawas manusa. Komo deui nempo dua gulang-gulang diukna pagegeye jeung maung teu ngarasa sieun.

Sajongjonan mah Sang Prabu colohok ngembang kadu, teu tiasa nyaur sakemek-kemek acan, komo deui lamun kedah nakon saha, timana jeung maksud naon dua maung datang ka paseban mah. Anjeuna kawas nu kasirep di eureup-eureup.

Kaayaan anu sepi jempling, bitu ku sora maung jajadian Bongbang Larang ngadika handaruan: "Sampun Rama Prabu, Sabenerna Kaula duaan teh dulur kembar putra Ibu Dewi Kencana Larang ti Karajaan Galuh".

Gebeg hate Mantri nu baheula milu nganteur Putri Kencana Larang ka Galuh tur nyaksian Sang Putri ngalahirkeun di Panumbangan reuwaseun, lantaran asa tetela pisan harita teh lahir dua orok kembar kasep jeung geulis,  naha ayeuna jadi maung?. Lajeng Si Mantri ngandika ka Raja :" Sampun, kanjeng Prabu, paman ngiring nyarios, margi tetela pisan Kanjeng Putri, harita teh ngalahirkeun wujud manusa, .... sanes ....?. Saacan Ki Mantri laju cumarita, dipotong ku biantara Bongbang Larang ngadongengkeun lalampahan ka tukang. "Ngawitan na mah Ama, kaula jeung adi kaula teh sono hoyong papendak sareng nu jadi rama. Kaula duaan minggat ti Karajaan Galuh bade mios ka dieu. Nanging di satengahing perjalanan mendak musibah, ... barabat Bongbang Larang medar carita, runtut jeung rincina naon sabab na aranjeuna jadi maung.

Prabu Gajah Wulung ngabandungan cariosan putrana teh bari murubut cisoca. Kitu tea na mah ngarasa sedih, salila eta mikagandrung ka palaputra di Galuh, ari harita pendak geus salin rupa. " Duh...... deudeuh teuing, kasep geulis anak Ama, na hidep teh gaduh nasib bet nista pisan. Ayeuna mah tos we cicing dieu jeung Ama, da burung palung ge hidep duaan teh darah ama"

"Kanjeng Rama,... Kaula duaan teh lain teu sono kanu jadi sepuh, da kaula sadar yen Rama teh janten Raja di ieu nagari, sok bilih awon balukarna ka sakumna rahayat Wilwaltikta, Ma enya bae Raja nu diagungkeun ngaboaan anakna sato? Di sagigireun eta, kuring duaan teh kahutangan nyawa ku Raja Panjalu jeung geus sumpah rek babakti ka  anjeun na. Bari kuring teh rek ngalap elmuna, da geuning Raja Panjalu teh Sakti Mandra Guna", kitu Bongbang Larang sasauran lumengis kanu jadi Rama.

"Deudeuh teuing anaking, nya ari pamadegan hidep geus kitu mah ama ngarojong, bari ieu ama mekelan tanda kamelang. Lamun aya jalma anu tangtu teu apaleun yen hidep teh manusa, terus diboro jeung rek ditandasa, tah pake ieu geulang tina akar kai kaboa. Hidep duaan barus bisa ngaleungit tanpa jirim", saur Sang Prabu.

"Atuh ieu Paman oge ngiring mekelen, gaduh pusaka anu saleresna mah lungsuran ti saurang batara gunung sawal, waktu paman ngalap elmu didinya, nyaeta beubeur kulit menjangan ngangge permata merah dalima, lamun hidep ngangge ieu, baris tiasa lumpat mapakan kilat", ceuk paman patih milu ngauban bari masangkeun beubeur kana beuheung maung Bongbang Larang.

Asa kaemutan, Mahaprabu Bramawijaya anu tiawal ngabandungan dongeng incuna, enggal cengkat tina korsi gigireun palih kiwa korsi Raja, nyampeurkeun dua maung kajajaden teras dirawu bari tipepereket nangkeup : " Duh... Incu Aki deudeuh temen nasib hidep. Bral.... hidep ngalalana ka tatar sunda dibarung do'a ti Aki. Ieu aki boga peperenian pamasih Batara Rangga Sakti kokolot Panjalu, nyaeta Pusaka Ciajipermana. Lamun soca hidep dipeureu kucai ieu, bisa ningal tembus pandang lir taya hahalang. Ngan hidep baris serab lamun nempo kacapuri kuku turunan Panjalu, dawuh Mahaprabu Brawijaya bari meureukeun Ciajipermana kana soca dua incuna.

Pondok Carita, satutasna permios ka Aki tur Ramana, Maung Kajajaden Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana ngabelasat lir kilat ka tebeh kulon ngajugjug Karajaan Panjalu.

Teu kacaritakeun lila diperjalanan, Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana geus mendekong deui ngadeuheusan Raja Panjalu. Ti semet harita, Dua Maung Kajajaden janten pendamping Prabu Cakradewa, sanaos seseringna henteu katingal ngajirim lantaran ngangge geulang akar kaboa tea. Sabab lamun ngajirimkeun wujud asli, bisi ngabalukarkeun kakacowan balarea. Malah ku kaluhungan elmu Prabu Cakradewa, Bongbang Larang jeung Bongbang Kancana dibere kasaktian bisa midah rupa jadi Satria jeung Putri anu Kasep jeung geulis. 

Tapi elmu pindah rupana teu bisa dipake salawasna, Lantaran Geus Pinasti ti Hyang Widi, yen Putra Putri Galuh di takdirkeun JADI MAUNG PANJALU.



Tamat

CINTA RAMADA JEUNG POLITIK GAJAH MADA

CINTA RAMADA JEUNG POLITIK GAJAH MADA ( Dicandak tina Novel Perang Bubat - Tragedi Dibalik Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka; k...